8. Lupakan masalahmu dan mulailah berkebun!

195 146 552
                                    

Chapter 8
🌻 Lupakan masalahmu dan mulailah berkebun!🌻

Caramel tidak dapat melupakan wajah orang-orang yang melihat gambar dirinya di lukisan itu. Mereka berbisik-bisik agar Caramel tak mendengar ucapan mereka yang keji, tapi tatapan mata mereka yang tajam mengatakan sejuta hal yang jauh lebih kejam daripada apa yang mereka pikirkan.

Caramel kabur dari sana; dari lukisan yang tak bermoral itu, dari warga-warga yang berasumsi aneh-aneh, dari ketakutannya yang perlahan-lahan merayap dan mengikuti setiap langkahnya.

Caramel bertanya-tanya siapa yang telah melukis lukisan yang sangat mengenaskan itu. Mengapa mereka melukis itu? Apa tujuannya? Dari banyaknya hal yang bisa dilukis kenapa mereka harus memilih sesuatu yang kelam? Dan kenapa mereka harus memfitnah Caramel agar orang-orang mengira dia lah yang melukisnya?

Caramel sendiri masih tak mengerti apa maksud dari lukisan itu. Arcadia yang hancur. Dirinya yang digambar seakan sedang menghancurkan Arcadia. Semuanya tak masuk akal. Apakah hanya kesalahpahaman? Mungkin pelukisnya tidak bermaksud untuk menggambar dirinya. Tapi, potret itu terlalu jelas hingga semua orang sudah pasti berasumsi bahwa itu dirinya.

Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa orang-orang tampak tertekan? Mereka terlihat seolah benar-benar ketakutan dan menganggap apa yang berada di dalam lukisan itu sedang terjadi sekarang. Padahal itu hanyalah lukisan yang mungkin tidak memiliki arti apa-apa.

Caramel masuk ke kamar dan mengunci diri. Dia tak sanggup memikirkan semua ini sekarang. Setelah acara perpisahan untuk mendiang ayahnya, satu-satunya hal yang Caramel inginkan hanyalah tidur tenang, bukan memikirkan sesuatu negatif yang tak memiliki ujung.

Caramel duduk di atas kasur sambil memeluk lutut, memeluk dirinya sendiri dengan begitu erat seakan bila tidak,  ia akan hancur berkeping-keping.

Seseorang mengetuk pintu.

“Caramel,” panggil seseorang. “Ini aku, Stone.”

Caramel menghela napas lega ke udara yang dingin, merasakan embun bergulung-gulung keluar dari mulutnya. Untung saja itu hanya Stone...

“Masuk,” pinta Caramel.

Pintu berderit terbuka. Stone terbang masuk ke dalam kamar Caramel. Emas yang membalut sayapnya membuat Caramel merasa sedikit lebih baik. Seolah itu menjadikan suatu hiburan tersendiri untuknya yang sedang bersedih.

“Kau baik-baik saja? Kau kelihatan panik tadi saat berlari. Jadi aku langsung mengejarmu.” Wajah Stone yang mungil memancarkan kekhawatiran yang begitu pekat.

“Aku baik-baik saja.” Tidak, sebenarnya. Caramel tidak baik-baik saja. Belum. Tapi Caramel merasa tidak enak kalau dia harus membebani Stone dengan permasalahannya. “Nenek sudah pulang?”

“Belum,” jawab Stone. “Nenek sedang mencari tahu penyebab ribut-ribut tadi.”

“Apa kau tahu penyebabnya?” tanya Caramel.

Stone menggelengkan kepalanya yang mungil. “Aku tidak sempat melihat. Memang ada apa?”

Caramel ragu untuk menjawab. Mungkin ada baiknya bila Stone tidak tahu.

Tiba-tiba Aveline masuk ke kamar. Napasnya tersengal-sengal karena kelihatannya dia habis berlari.

“Ada apa? Kau baik-baik saja?” tanya Caramel, merasa khawatir.

“Harusnya aku yang bertanya padamu,” jawab Aveline sambil mencuri-curi napas. “Aku lihat lukisan itu. Aku tahu kau pasti merasa takut.”

Caramel menelan ludah saat rasa takut menekan dirinya.

As Sweet As Caramel Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ