#Lembar28: Dari Masa Lalu

191 32 6
                                    

Jehan sampai di rumah saat gelap setelah berkeliling dengan Zav. Ia mengucapkan terima kasih dengan tak lupa melambai pada si pemuda yang beranjak pergi dengan kendaraan roda duanya. Gadis itu pun masuk dengan pemandangan yang tertuju pada mobil tak asing terparkir di halaman rumahnya. Dengan terburu-buru, ia masuk ke dalam rumah bahkan tanpa mengucapkan salam. Dilihatnya di sana, Ibun, Gibran, juga Ayah sedang duduk di ruang tamu.

"Jeje? Kakak habis dari mana?" tanya pria itu tersenyum senang menyambut putri sulungnya.

Namun berbanding terbalik, Jehan justru melempar tatapan benci untuk sang Ayah.

"Ayah ngapain di sini?" tanya gadis itu dengan tangan yang terkepal kuat. Melihat itu, Gibran menghampiri Kakaknya untuk menenangkan.

Ayah berdehem, beliau juga menggaruk pelipisnya karena ia harus menjelaskan maksud kedatangannya dari awal.

"Mungkin kamu bisa duduk dulu di sini," timpal Ibun ikut memberi pengertian untuk si sulung.

Gadis itu menggeleng. Cengkramannya makin kuat dan mungkin bisa saja melukai telapak tangan karena kukunya yang panjang.

"Emmm, gini, besok Ayah mau berangkat ke Thailand. Ayah sama Mama bakal—"

"Jeje nggak punya Mama," potong Jehan sebelum Ayah menyelesaikan kalimatnya.

"Iya, Ayah sama Tante Kanya bakal pindah ke sana. Jadi barangkali, kamu atau Gibran mau ikut dan lanjut—"

"Nggak! Gibran nggak bakal ke mana-mana. Gibran di sini, sama Jeje sama Ibun!" potongnya sekali lagi. 

"Tapi bukannya bagus kalau kamu dan adek lanjut belajar di sana, Kak?" timpal Ibun ikut berdiri untuk membujuk putrinya.

Jehan menunduk, cengkraman tangannya semakin kuat. Bahkan lebih kuat dari yang sebelumnya. Ia juga dapat merasakan talapak tangannya mulai terasa perih.

"Lo mau?" tanya Jehan agak pelan.

Gibran diam. Ia kebingungan. Ya, kalau ditanya mau, tentu saja. Tapi kalau hanya mengikuti ego kepala, maka hidupnya akan penuh rasa bersalah. Bagaimana bisa ia meninggalkan Ibun di sini sendiri?

"Kalau lo mau gapapa. Pergi aja, gue di sini bareng Ibun," sambung Jehan kemudian pergi meninggalkan ruang tamu. Ia masuk kamar dengan membanting lalu mengunci pintu kamarnya. Sebagai tanda bahwa ia sedang tidak ingin diganggu.

Gibran dan Ibun saling melempar pandang. Jika sudah begini repot urusannya. Jehan itu keras kepala, kalau tidak ya tidak. Ia begitu keras hingga dibujuk pun tak bisa.

Ibun menaiki tangga berniat mengajak sulungnya bicara. Ia ketuk pintu kamar itu memberi sinyal bahwa Ibun ada di depan pintu.

"Kak? Ibun mau masuk boleh nggak?" satu pertanyaan tanpa jawaban. Kamar Jehan begitu hening.

Gibran mendekat ikut mencoba melakukan apa yang Ibun lakukan. Ia ketuk pintu itu tiga kali sebelum bersuara.

"Kak? Ayo bicara," bujuknya.

Hening lagi. Gibran menghela napas, biasanya itu berhasil. Namun nampaknya Jehan tidak mau bertemu siapa pun.

Bunyi kunci diputar membuat Ibu dan anak itu menoleh pada gagang pintu. Celah dari kamar Jehan terbuka, pertanda adiknya boleh masuk. Ibun mengusap bahu anak bungsunya dengan harapan semoga Gibran bisa mengajak Jehan bicara.

Pemuda itu masuk dengan tak lupa mengunci pintu kamar itu lagi. Kakaknya duduk di meja belajar membelakanginya. Ia diam menatap keluar jendela, ntah menatap apa. Gibran mendudukkan diri di ranjang kakaknya. Menatap Jehan yang pandangannya menerawang entah ke mana.

"Sorry, Kak, gue bukannya mau—"

"Kalau lo mau gapapa kok. Gue bisa di sini sama Ibun. Toh di sebelah juga ada keluarganya Raka. Juga rumahnya Eyang nggak jauh-jauh banget dari sini,"potong gadis itu tanpa menoleh. Dapat Gibran lihat air mata kakaknya jatuh.

"Gue nggak mau, Kak. Gue maunya di sini. Siapa yang bilang gue mau ikut Ayah?" balas pemuda itu memperbaiki perkataannya.

"Lo."

"Kapan? Gue nggak ngomong apa-apa?!" serunya merasa terfitnah.

Jehan diam mengingat-ingat apa yang Gibran katakan. Dan benar, sejak tadi adiknya memang tidak bicara.

Pemuda itu maju mendekati kakaknya. Ia duduk bersila di lantai sembari memutar kursi Jehan agar menghadap dia.

"Gue nggak punya siapa-siapa kalau ikut Ayah. Gue nggak suka Tante Kanya. Gue nggak bisa bahasa Thailand. Bahasa Inggris gue juga jelek. Lagian, gue masih mau tau kelanjutkan kisah cinta lo sama Sweetpiccolo," jelasnya selembut mungkin. Namun Kakaknya malah menghadiahi satu tamparan di pipi kirinya.

"Sakit anjir!" seru Gibran merasa perih.

"Ngadi-ngadi lo!"

"Jangan sedih Kak, gue nggak bakal bisa ninggalin lo sendiri. Ke mana pun lo pergi, gue pasti ikut."

Air mata Jehan jatuh lagi. Gibran jarang sekali mengucapkan kata-kata manis seperti ini. Namun sekalinya ia bicara, siapa pun pasti merasa tersentuh. Karena ketulusannya dalam berkata dan tatapannya dalam bicara membuat siapa pun pasti akan luluh.

"Nggak usah sok manis!" balas Jehan kini memutar kursinya kembali membelakangi Gibran. Ia gengsi, pun malu karena sudah marah tak jelas dengan keadaan yang belum ia pahami sepenuhnya.

"Habis ini jajanin mc flurry ya?"

"Nggak!"

"Dih, pelit!"

Gibran keluar dari kamar Kakaknya. Ia turun ke bawah di mana di sana Ayah sudah hendak pulang. Gibran mendekati pria itu kemudian menyambut tangan kanan Ayah untuk salim.

"Kakak gimana? Ikut?" tanya Ayah yang penasaran dengan perbincangan dua anaknya.

"Gibran sama Kakak nggak ikut. Kita nggak bisa ninggalin Ibun sendiri. Ditambah lagi, kita emang nggak cocok tinggal di luar negeri. Kita 'kan katro," jawabnya diiringi canda. Membuat ayah geleng kepala mendengarnya.

Memang benar, bahwa hubungan Gibran dan Ayah jauh lebih baik dari Jehan dan Ayah. Karena Gibran yang sudah mulai memafkan masa lalu, pun ia tidak mau Ibun sedih karena bermusuhan dengan Ayah.

"Ayah pulang ya, jagain Kakak sama Ibun. Jangan malah kamu yang nakal. Nanti uang jajan kamu Ayah naikin."

"Siap bos!" Ayah mengacak rambutnya lembut. Beliau kemudian pamit pada Ibun dan keluar dari rumah dengan membawa seluruh perasaan sedihnya.

Jika ditanya apa ia kesal dan menyesal, maka jawabannya, iya. Ia bahkan memaki dirinya bodoh ribuan kali sesaat setelah penyesalan datang. Jehan yang terluka dan masa lalu yang kerap kali diungkit pada hubungannya yang baru. Anak gadisnya yang ia beri nama sekuat prajurit meriam itu teramat membencinya. Hingga bertatap muka pun ia tak suka. Kalaulah mamang ada kesempatan kedua, ia hanya ingin membahagiakan Jehana dengan cara yang seharusnya.

Jangan lupa tinggalkan jejak ya kidz,,,,,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa tinggalkan jejak ya kidz,,,,,

Sampai ketemu minggu depan💓

Querencia✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang