#Lembar29: Taruh

197 34 20
                                    

"Jangan kemalaman pulangnya," pesan Gibran saat melihat Kakaknya yang mengeluarkan sepeda dari garasi.

Entah kesambet apa Jehan hari ini, tapi katanya gadis itu ingin pergi membeli kopi di kafe tempat Raka biasa manggung. Katanya kopi di sana enak, dan Jehan ketagihan. Awalnya Gibran ingin mengantarkan, tapi gadis itu menolak dengan keras bahwa ia bisa pergi sendiri. Lokasinya memang tidak terlalu jauh, tapi karena letaknya di tepi jalan raya tepat setelah lampu merah, Gibran sedikit khawatir jika harus membiarkan Kakaknya pergi sendiri dengan sepeda. Meski pada akhirnya ia tetap saja kalah karena keras kepala Jehan yang melebihi batu.

"Lo mau titip apa? Di sana juga ada cake," balas Jehan setelah menaiki sepedanya bersiap pergi.

"Titip pesan, hati-hati di jalan, liat kiri-kanan, jangan buru-buru, tetap di jalur sepeda, pulangnya jangan lama-lama, kalau bisa beli kopi aja jangan nongkrong, sama kalau ada apa-apa jangan lupa keluarin senjata, terus secepatnya telepon gue," mendengar ocehan panjang itu Jehan merotasi bola matanya. Ibun bahkan tak berpesan sepanjang itu, tapi Gibran seakan sedang pidato untuk upacara Senin pagi.

"Iya-iya bawel!" marah gadis itu kemudian melajukan sepedanya meninggalkan rumah.

"JANGAN LUPA KUNCI SEPEDA!!" seru si adik sekali lagi saat Kakaknya sudah pergi meninggalkan rumah.

Jehan menggeleng atas seruan adik laki-lakinya. Gibran itu memang teledoran dan sedikit ceroboh, tapi dalam hal menjaga keselamatan Kakaknya, ia paling bisa diandalkan. Ya, Jehan mewajarkan hal itu. Yang mana ini juga pertama kalinya Jehan keluar sendiri saat malam. Alasannya hanya ingin beli kopi pula. Terlalu memaksa, walau itu juga tak bohong. Ia memang ingin pergi menikmati secangkir greentea latte dengan beberapa macaron. Tapi alasan utamanya adalah ia ingin bertemu Zav.

Sepeda Jehan berhenti di lampu merah, ia beristirahat sejenak sambil sesekali melirik lampu lalu lintas. Setelah lampu berubah hijau, sepedanya kembali melaju tapi kali ini lebih lambat. Tepat setelah bangunan ke tiga, gadis itu membelokkan sepedanya di kafe yang cukup ramai. Sesuai pesan Gibran, gadis yang katanya invisible ini mengunci roda sepedanya kemudian masuk ke dalam. Ia tilik satu per satu meja yang ada sebelum akhirnya sebuah suara menyapa ramah telinganya.

"Selamat malam nona manis, mau saya antarkan ke meja kosong?" lelaki dengan perawakan tinggi dan senyum manis menyambutnya dari samping. Parasnya sedikit mirip dengan Zav. Bahkan ia juga mengenakan apron yang sama dengan yang biasanya Zav pakai.

"Iya, boleh," Jehan mengangguk menyetujuinya.

Pemuda itu membawa Jehan pada meja yang sedang dibersihkan oleh orang yang sangat Jehan kenal. Orang itu dengan lihai menyeka meja yang basah akibat minuman dingin yang dipesan pelanggan sebelumnya.

"Tunggu sebentar, ya, mejanya sedang dibersihkan," lanjut pemuda itu memberi tahu Jehan. Meski tidak pun, Jehan sudah tahu karena ia bisa melihat.

Setelah meja tadi bersih, ia berbalik. Dua pasang netra itu pun bertemu hingga membuatnya nyaris terjatuh. Siapa sangka, orang yang sedang dalam kepalanya mendadak ada di depan mata. Seakan mimpinya mendapat keajaiban untuk menjadi nyata.

"Silahkan duduk nona manis," Pemuda yang tidak Jehan tau namanya itu mempersilahkannya untuk duduk. Jehan yang masih belum memutus kontak mata hanya tersenyum menahan tawa melihat raut kaget itu.

"Siapa yang bolehin lo manggil dia nona manis?" celetuknya menatap tajam si pemuda.

"Dih, emang gue perlu izin lo? Nona manis ingin pesan apa?"

Ia-Zav menahan pergerakan tangan pemuda tadi yang hendak mencatat pesanan Jehan.

"Gue aja."

"Pelanggan lain banyak."

Querencia✔Where stories live. Discover now