#Epilog: Dan, Selesai

284 32 18
                                    

"Raka masih belum mau keluar?" tanya seorang Ayah yang sejak lima hari lalu belum melihat batang hidung anak bungsunya.

"Belum, Mas. Dia masih di kamar Jeje," jawab wanita yang beberapa hari lalu baru saja kehilangan putri sulungnya.

Si Ayah, atau yang kerap di panggil Abi itu menghela napas. Kepergian memang bukan hal yang mudah untuk di terima. Tapi juga bukan hal yang harus membuat kita berhenti bergerak. Sudah seminggu Rakalingga mengurung diri di kamar sahabatnya. Makan tidurnya tak teratur. Ia juga jadi lebih sering melindur. Memanggil nama perempuan yang kini sudah pulang pada rumahnya yang baru.

"Boleh saya masuk?" beliau bertanya lagi sebelum membuka pintu kamar itu.

Ibun mengangguk. Mengizinkan si Ayah dari putra yang pundung itu untuk masuk membujuk bungsunya. Saat pintu terbuka, memang benar. Rakalingga Baskara duduk meringkuk di sisi ranjang sambil entah melakukan apa. Kepalanya menunduk tersandar pada lengan. Kakinya rapat menjadi tumpuan kedua lengan. Di depannya ada album foto tua yang jelas-jelas menyimpan potret dirinya dan Jehana.

"Raka," panggilan itu tak diacuhkan oleh si empunya. Rakalingga masih di posisinya tanpa bergerak sedikit saja.

"Ayo udahan sedihnya, ini udah seminggu dan kamu mulai ditanyai wali kelas," sambung Abi namun masih tak berhasil. Pemuda yang masih larut dalam sedihnya itu sama sekali tidak peduli dengan omongan orang-orang.

Abi berjalan mendekat. Ia duduk di sebelah si bungsu yang tak bergerak pun tak bersuara. "Kalau kamu sedih begini terus, Jeje juga ikut sedih. Dia nggak mau liat kamu terlalu menangisi dia, Ka. Pada akhirnya, kamu hanya akan memberatkan Jeje," kepala Raka akhirnya terangkat perlahan. Matanya sembab dan hidungnya sedikit merah. Pipi basah bersamaan dengan bibirnya yang bergetar. Entah sudah berapa lama ia menangis dalam diam seperti itu.

"Raka," panggil Ibun menginterupsi pasangan ayah dan anak itu.

Keduanya menoleh pada seorang wanita yang berdiri di ambang pintu. Dalam hatinya tak tega melihat Raka terlalu larut dalam kehilangan.

"Ibun sama Gibran mau ziarah, kamu mau ikut?"

• ° •

Sebotol air ia tuang ke atas gundukan tanah. Diikuti bunga-bunga segar yang ia bawa sebagai bekal. Bau tanah basah bercampur dengan aroma kembang yang ia tebar membuat kesan biru jadi semakin kelabu. Tangannya menyentuh papan nama itu. Jelita yang dulu pernah jadi bagian dari perjalanan hidupnya kini tenang dipeluk bumi. Nahas, kisah ini sudah tidak bisa lagi diperbaiki. Gadis itu pergi tanpa sempat ia ucapkan selamat ulang tahun untuk yang terakhir kali. Jangankan peluk, ia bahkan tidak sempat meminta maaf atas semua yang telah ia perbuat.

"Maafin gue, Je," katanya sudah yang ketiga kali hari ini. Mulai dari datang, selesai mengirim doa, bahkan sekarang saat hendak beranjak pulang. Maaf masih jadi kata yang mau sebanyak apapun ia ucapkan, tetap tak'kan bisa terjawab.

"Salah gue banyak, tapi sekarang gue udah nggak bisa minta maaf secara langsung. Lo curang pergi sendirian. Harusnya ajak gue. Gue yang mau mati tapi kenapa lo yang pergi?" oktaf suaranya sedikit meninggi. Bersamaan dengan air mata yang jatuh lagi dan lagi.

"Dan..." tangan lembut itu menarik Kakaknya agar bisa ia dekap. Dyta memeluk tubuh rapuh Dante sambil terus mengucapkan mantra penenang di telinga Kakaknya.

"Udah, Dan..." katanya sembari terus mengusap lengan Dante.

Kepergian Jehan memang terasa tiba-tiba. Bukan hanya bagi Dante, pun juga bagi Dyta. Gadis itu bahkan tidak tau kalau sakit Jehan separah itu. Ia memang tidak pernah melihat Jehan di skolah lagi. Pun Raka sudah lama tidak terlihat bersama Jehan. Paling hanya bersama Acha. Dyta pikir, mereka hanya sedikit bertengkar atau menjaga jarak karena putusnya Dyta dan Raka. Namun ternyata, ini lebih serius dari yang ia kira. Ia bahkan sempat berpikir kalau Jehan sengaja sakit untuk mendapat perhatian Raka. Ia juga menaruh cemburu yang besar karena selama dia berpacaran dengan Raka, pemuda itu lebih sering memperhatikan Jehana dibanding Dyta kekasihnya sendiri. Namun jika kasusnya begini, mungkin disini Dyta yang terlihat jahat dan egois.

Querencia✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora