#Lembar42: Secantik Dilahirkan Kembali

178 28 16
                                    

Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Gadis berambut sebahu itu melirik dari layar kuncinya dengan tebakan jitu. Benar saja, si pengiriman lengkap beserta isinya berhasil ia tebak. Pesan singkat dari Ibun yang mengabari bahwa beliau sudah sampai di depan. Jehana mematikan lagi layar ponselnya kemudian menatap Acha yang masih menempel sejak tadi. Ia bahkan tidak berniat mengurai pelukannya sejak jam istirahat pertama. Wajah menyedihkan dan suara tarikan ingus itu tak membuat Jehan jengah. Ia pun sama ingin terus memeluk sahabatnya.

"Gue udah dijemput Ibun di depan," katanya membuat Acha menegakkan kepala yang sejak tadi bersandar di bahu Jehan.

"Lo beneran besok operasi?" tanya Acha dengan suara serak karena menangis sejak tadi.

"Iya, Cha..." jawab Jehan untuk yang kesekian kali.

"Langsung sembuh, nggak?"

Jehan mengangkat bahunya, "Dokter kan bukan Tuhan."

"Huaaa gue mau ikut!!!" serunya memeluk Jehan lagi.

"Ish! Cha! Udah ah! Nggak usah lebay! Gue nggak mau lo besok bolos pake alasan mata bengkak! Pokoknya lo nggak boleh bolos satu hari pun!"

Acha diam, menatap Jehan yang sudah bersiap-siap pergi. "Hati-hati, ya?" katanya sambil melambaikan tangan.

"Gue cuma ke rumah sakit?!"

"Besok malam gue jenguk."

"Hm..." setelah itu Jehan ikut melambai dan pergi menyusul Ibun di depan.

Gibran yang sejak tadi duduk di antara mereka hanya menatap jijik ke arah Acha. Dia yang adiknya Jehan saja tidak sampai ingusan seperti itu. Fasha Auristela memang banyak dramanya.

Pemuda itu bangkit dari duduknya untuk mengeluarkan motor dari parkiran yang sudah nyaris sepi. Ia memakai helm lengkap dengan hoodie-nya. Sebelum menurunkan standar, seorang lelaki berdiri di hadapannya dengan wajah yang menurut Gibran sangat jelek. Entah apa yang dipikirkan pemuda itu hingga memasang rupa semenyedihkan itu.

"Gibran," panggilnya menahan tangan Gibran.

Tak suka disentuh, adik Jehana itu melepas paksa pergelangan tangannya dari genggaman si pemuda.

"Gue boleh tau Jehan kenapa?" sambungnya.

Dante Mahatma Braza. Sejak tadi ia sudah memperhatikan gerak-gerik Acha dan Jehan. Mereka berdua nampak sangat aneh dilihat dari bagaimana Acha terus-terusan menangis dalam pelukan Jehan. Ditambah lagi, gadis itu sedikit lebih pucat dari biasanya.

Gibran tak menjawab, ia diam dan melanjutkan pergerakannya yang ingin menyusul si Kakak. Namun Dante benar-benar kepalang kepo. Ia menarik tangan Gibran lagi hingga membuat raut benci itu semakin menjadi-jadi.

"Jehan kenapa? Plis kasih tau gue," katanya memaksa.

Jengah, Gibran membuang napas kasar dan menarik kerah kemeja Dante agar mendekat.

"Jangan pernah ganggu Kakak gue lagi. Atau gue sendiri yang bakal mukulin lo," suaranya pelan dan mengintimidasi. Tatapan tajamnya jadi semakin tajam saat melirik dari ekor mata. Lalu dengan seluruh tenaga, ia dorong tubuh Dante hingga pemuda itu mundur beberapa langkah.

Gibran akhirnya pergi. Dengan emosinya yang kurang stabil, kendaraan tua itu melaju meninggalkan asap putih di belakang. Sedang Dante berseru marah. Ia hanya ingin tau keadaan Jehan. Berhari-hari gadis itu menghilang dan sekalinya muncul malah seperti mayat hidup.

• ° •

Jehan sampai di sebuah salon yang berdiri tepat di depan rumah sakit. Ia duduk di hadapan cermin setinggi tubuhnya setelah dipersilahkan oleh pemiliknya. Ibun sudah mengatur janji sebelumnya, jadi Jehan bisa langsung dilayani tanpa harus mengantri sesuai giliran. Lagi pula, ini memang salon langganannya setiap potong rambut.

Querencia✔Where stories live. Discover now