#Lembar49: Di kehidupan Lain

209 39 30
                                    

Nirmala menatap dua gambar di hadapannya. Hasil biopsi Jehan telah keluar. Dokter Rana sudah memberi tahunya sejak kemarin, tapi baru hari ini ia memberanikan diri untuk mencari tahu. Walaupun tanpa ia pastikan pun, Nirmala sudah dapat menduga bahwa hasil dari biopsi nya beberapa waktu lalu adalah sesuatu yang buruk. Itu sudah jelas, terlihat bagaimana keadaan anaknya yang kian memburuk. Juga bagaimana Dokter Rana mulai menambahkan beberapa dosis obat.

"Saya takut untuk bilang ini sejujurnya, Nir. Karena saya ingkar untuk memberi kamu jawaban yang baik," buka Dokter Rana melihat raut sedih teman terdekatnya.

Ibun mengangguk beberapa kali, "Gapapa, Ran. Saya nggak menyalahkan kamu. Memang saya yang gagal jadi seorang Ibu," balas Ibun membuat hari Rana terluka. Ia tidak bisa bayangkan sesakit apa perasaan Nirmala hingga sanggup mengatakan bahwa dirinya gagal.

"Nir, sudah. Jangan terlalu menyalahkan diri. Kita berdoa semoga Tuhan ngasih kita keajaiban. Secepatnya kita harus lakukan terapi, sebelum dia jadi semakin ganas," Rana menyentuh tangan Nirmala berniat menghibur. Meski Jehan telah dinyatakan demikian, itu bukan berarti akan selalu berakhir pada hal yang mengerikan. Mungkin semesta masih mau berbaik hati untuk menolong mereka yang berserah diri.

"Saya udah nggak ada harapan, Ran. Dunia saya hancur. Nggak ada lagi yang bisa kita lakukan," tangis Ibun pecah di heningnya siang yang berawan. Wanita yang katanya siap mendengar semua hasil dari pemeriksaan terkulai lemas dengan kerudungnya yang mulai berantakan.

"Kamu jangan menyerah, Nir. Walaupun kecil kita masih ada harapan. Kalau bagi kamu terlalu sulit, biar saya yang berjuang. Jehan harus tetap hidup untuk semua mimpi-mimpinya."

"Nirmala, kamu percaya, 'kan ikatan batin antara Ibu dan Anak itu nyata? Berjuang sebisa mu, Nir. Pasti Jehan juga akan melakukan itu. Yang sedang bertahan melawan bukan hanya kamu, Jehan bahkan harus mati-matian melawan sesuatu yang ada di kepalanya. Kamu harus lebih tegar dari dia, karena darahmu, mengalir di tiap denyut nadinya."

• ° •

Ini cerita tentang rumah yang berbeda
Dan berjarak jauh
Hanya tersentuh dalam jarak doa
Ada hati yang-

"Raka," suara parau itu menginterupsi nyanyian si pemuda yang hampir selesai.

Si pemilik nama menoleh kala seorang gadis yang terbaring lemah dengan beberapa alat di tubuhnya bersuara. Matanya terpejam namun Raka yakin itu adalah suaranya.

"Ganti lagu plis, galau banget," sambungnya menoleh dengan tatapan kesal.

Raka tergemap dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Jehana Renjani Sarageni baru saja protes perihal lagu yang terlalu sedih, katanya.

"Lo pura-pura sakit lagi, ya?" tuduh nya bercanda.

Gadis itu tersenyum dari balik masker oksigennya. Kalau saja ini hanya sandiwara, maka Jehan akan dengan senang hati menjitak kepala sahabatnya ribuan kali.

"Nyanyi lagu yang bisa bikin semangat gitu dong. Jangan malah bikin ini ruangan jadi makin biru," timpal gadis itu kembali meminta Raka untuk menyanyikan lagu lain.

"Lagu apa? Oh ini aja nih, tanpamu~ cinta tak berarti~~ cinta sudah lewat~~~"

"Sekali lagi gue gampar beneran lo Rakalingga," katanya mengancam meski dengan suara yang lemah.

Manusia usil itu terkekeh. Ia baru saja menyanyikan lagu yang selalu mengingatkan Jehan dengan mantannya. Bahkan sewaktu putus, Jehan sanggup memutar lagu ini sepuluh kali sehari. Sampai bosan Raka mendengarnya. Bahkan Ibun pun pernah protes dan meminta Jehan mengganti lagunya karena terus-terusan mendengar kata yang sama.

"Kan kita lagi nostalgia. Cinta Sudah Lewat, lagu patah hatinya Jehan waktu putus dari Dante," sambung Raka masih meledek si sahabat yang bahkan tak punya tenaga untuk melawan.

Mungkin ia terlihat menghibur, atau memang sebenarnya kebetulan saja agar Jehan jadi kesal padanya lalu melayangkan tinju. Jujur saja, Raka rindu pukulan-pukulan kecil Jehan di saat sedang mengamuk. Sudah lama rasanya ia tidak menerima perlakuan itu lagi.

"Kesel, ya? Mau mukul tapi nggak bisa. Kasian banget dech. Cepet sembuh makanya, nanti gratis tinju lima kali sehari."

"Lima kali doang? Gue maunya dua puluh."

"Sepuluh deh," tawar Raka karena Jehan tak terima dengan sesuatu yang ia dapat jikalau nanti ia sembuh.

"Lima belas."

"Oke, deal!"

Raka tersenyum akhirnya Jehan bisa diajak bercanda lagi. Sejak kemarin, gadis itu terlalu biru untuk sekedar ia ajak bicara. Bahkan bertatap muka pun rasanya ia tak sanggup. Melihat bagaimana manusia yang kerap kali membuatnya tertawa, kini terbaring lemah antara hidup dan matinya. Sementara si jelita kembali memejamkan mata. Belakangan ini, matanya terasa berat dan sulit untuk dibuka kalau tak ia paksa. Napasnya pun semakin sulit meski telah dibantu dengan oksigen. Perihal kepala, ia bahkan tak tau harus mengeluh bagaimana lagi. Rasa sakit itu membuat sekujur tubuhnya kelu.

"Raka," panggil Jehan tanpa membuka matanya.

"Hmm?" pemuda itu berdehem lembut demi memenuhi panggilan sahabatnya.

Mata gadis itu kembali terbuka. Menatapnya penuh arti hingga membuat jantung Raka seperti meloncat ke tenggorokan. Demi rona senja yang hanya sementara, bahkan lewat tatapan matanya saja Jehan bisa mengisyaratkan seluruh hatinya.

"Makasih udah mau temenan sama gue. 13 belas tahun bareng lo dan selama itu lo nggak pernah gagal buat gue senang," katanya dengan suara yang pelan namun masih bisa Raka dengar jelas.

"Hidup gue rumpang, Ka. Tapi sama lo gue selalu merasa lengkap. Seolah luka yang gue punya nggak akan cukup buat gue sedih. Lo bentuk nyata dari obat itu sendiri. Kalau di kehidupan lain kita punya kesempatan yang sama, gue mau lagi dan lagi jadi sahabat seumur hidup lo."

Bukan hanya Raka, namun Jehan pun tak lagi mampu menahan air matanya. Seluruh perasaan yang tertahan selama belasan tahun, kini lepas dan bergerak bebas. Seakan kepompong nya sudah berubah bentuk menjadi kupu-kupu. Jehana yang banyak bertarung dengan dirinya sendiri, satu per satu kini mulai memperbaiki. Mulai dari hubungan dengan sanubari sampai orang lain yang pernah melukai.

"Kalau kehidupan lain itu ada, gue mau meluk lo seumur hidup, Je. Gue mau kita jadi satu cerita yang di dalamnya banyak renjana yang nyata. Bukan cuma ada di kepala, atau disimpan sendirian. Gue mau di kehidupan lain Raka dan Jehan bisa menyuarakan isi hatinya ke seluruh dunia," Raka membalas kalimat Jehan dengan bersusah payah. Sakit di ulu hatinya membuat ia jadi sulit bernapas dan membuat tenggorokannya tercekik.

Dua jemari itu semakin mengerat. Menggenggam harap yang kian hari kian bertambah besar. Menyertai si risau yang tumbuh pesat setiap detik jam bergerak. Semua yang pahit sudah ditelan, semua yang manis belum sampai hingga sekarang. Kalau keajaiban bisa terjadi kapan saja, maka untuk yang kesekian kalinya, doa yang sama akan kembali di langit kan. Meski berujung pada jawaban yang tidak pernah diaminkan.

Udah pada tidur belum si? Aku telat yhh??? Mian😃

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Udah pada tidur belum si? Aku telat yhh??? Mian😃

Querencia✔Where stories live. Discover now