#Lembar45: Ini Terlalu Singkat

192 33 33
                                    

"Maaf, Nir. Ini semua salah saya. Kalau aja-"

"Iya. Sekarang saya tau kenapa Jehan bisa benci sama kamu," kalimat itu memotong ucapan Ardega yang belum sepenuhnya selesai.

"Kalau aja kamu bisa sedikit lebih banyak mencintai saya, Jehana nggak bakal kayak gitu, Mas. Kalau aja kamu bisa untuk setidaknya menghargai pernikahan kita, anak saya nggak mungkin jadi kayak sekarang!!" racau Nirmala dengan oktaf suara yang kian tinggi. Seluruh emosi yang sudah lama ia pendam meledak begitu saja tanpa aba-aba.

"Iya, Nirmala. Saya tau, saya yang salah. Kalau masih memungkinkan, saya mau bawa Jehan untuk melakukan pengobatan di Singapura. Saya dengar di sana-"

"Terlambat, Mas. Waktu Jehan tinggal satu bulan. Hasil biopsi nya memang belum keluar, tapi kondisi Jehan memburuk. Dia bahkan lupa dengan Gibran!"

Ardega meraih tangan Nirmala. "Nir, dengar saya, di sana ada banyak dokter hebat. Kita harus usahakan yang terbaik agar Jehan sembuh!"

"Lepas! Mulai hari ini, jangan pernah temui anak-anak saya lagi. Baik Jehan ataupun Gibran," wanita itu melepas pegangan tangannya dan pergi masuk ke kamar.

Ia juga membating pintu kamar dengan sangat keras hingga bingkai kaus kaki anak-anaknya jatuh. Nirmala sedikit kaget, ia pandangi dua pasang kaus kaki dan pecahan kaca yang tercerai-berai dari bingkai nya. Pemandangan itu melukai hatinya yang sudah remuk tanpa bentuk.

"Nirmala? Kamu nggak apa-apa? Nirmala! Buka pintunya!"

Air mata itu jatuh lagi untuk yang kesekian kali. Sepasang kaus kaki kecil berwarna merah muda itu ia jemput dan rengkuh. Aroma bayi yang masih tersisa dari minyak telon yang pernah ia percikkan menguar dan menyayat hati. Putri kecilnya yang dulu ia timang-timang, kini berada di tepi jurang kehidupan

"Nirmala?" panggilan dari luar dengan ketukan pintu yang berturut-turut.

"Pergi, Ardega. Saya udah nggak mau liat muka kamu lagi," meski parau, ia mampu menyelesaikan tiap kalimat yang ingin ia ucapkan.

Ibun rapuh, Ibun tangguh, Ibun yang raganya mulai rimpuh.

.

.

.

"Bun?" panggil Gibran menyadari Ibun yang sejak tadi sudah melamun.

"Iya? Kenapa, dek?" balas wanita itu agak terlonjak.

"Ibun melamun," Gibran menatap Ibunnya risau.

"Iya, Ibun ngantuk nih, kurang tidur. Ibun istirahat dulu gapapa, ya?"

Gibran menghela napas, "Iyaa, istirahat aja. Kak Jeje juga masih asyik gambar," sambungnya sembari menunjuk si Kakak yang duduk di dekat jendela sembari menggambar dengan ditemani hembusan bayu di siang yang tak begitu terik.

"Makasih, ya," balas Ibun kemudian merebahkan diri di brankar kecil tempat wali pasien tidur.

Sesaat setelah Ibun terlelap, Gibran memandangi Jehan yang nampak damai dengan dunianya. Seakan-akan hidupnya panjang dan tak punya masalah yang harus ia selesaikan. Meski kenyataannya, realita kehidupan Jehan sangat berantakan.

"Dek," panggilnya tanpa menoleh.

"Apa?" balas pemuda itu tak bergerak dari posisinya.

"Nih, kasih ke Raka," Jehan menyerahkan selembar kertas yang tadi masih sibuk ia coret.

Pemuda itu mendekat. Meraih kertas yang ternyata terdapat gambaran Rakalingga yang tampan rupawan meski tanpa wajah.

"Yang ini, buat Dante sama Zav," sambungnya menyerahkan dua kertas lagi dengan gambar yang berbeda-beda.

Querencia✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang