#Lembar48: Perang Telah Usai

207 35 26
                                    

Pria pertengahan 40 itu menghembuskan napasnya sekali lagi. Ia memantapkan hati dan menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Setelah satu helaan napas panjang keluar, Ardega menatap putranya yang memberi isyarat semangat untuk sang ayah. Ardega mengangguk yakin kemudian mulai membuka pintu kamar itu. Aroma obat-obatan nyaris tak tercium. Hanya ada wangi yang sedikit menyengat namun lama kelamaan berubah jadi lembut dan menenangkan. Ini persis seperti aroma kamarnya dulu. Chamomile yang selalu jadi aromaterapi karena memiliki efek menenangkan saat dihirup, persis menggambarkan nuansa rumah yang dulu ia tinggalkan.

Tungkai itu melangkah satu per satu dengan hati yang lapang. Putrinya yang dulu enggan bersemuka, kini memanggilnya meski entah bermaksud apa. Tergores sedikit luka melihat si kecil itu dipasangi masker oksigen dan patient monitor yang terus berlomba dengan detikan jam. Dalam benaknya mengutuk diri karena telah membuat cintanya jadi serapuh ini.

Ardega menatap wajah tenang Jehan. Bahkan meski sudah begini, Jehana Renjani masih terlalu cantik walaupun tanpa sehelai rambut di kepala. Pria itu mengusap lembut pelipis anaknya dengan hati-hati. Berharap semoga si penyakit pergi dan ia langsung sembuh tanpa lagi merasa gering.

Kedua mata itu perlahan terbuka. Kedua bola yang persis sepertinya itu ia sapa penuh cinta. "Ini Ayah Jehana."

"Ayah?" suaranya lirih nyaris tak terdengar. Pilu yang tadinya ia pikir hanya separuh kini perlahan-lahan mulai membunuh. Gadis kecil itu menyebut panggilannya dengan susah payah karena napasnya yang pendek.

"Iya, Nak. Ini Ayah," sambung beliau kemudian duduk di sisi ranjang Jehan.

"Ayah..." panggil gadis itu masih bersusah payah.

"Iya? Ayah di sini temani Jeje," balasnya sembari menggenggam tangan Jehan yang bebas infus.

"Jeje minta maaf," katanya menggores luka yang lebih dalam lagi. Jelas ini bukan salahnya. Si sulung yang tak tahu menahu jadi korban dari keegoisan orang dewasa. Si kecil yang harusnya bisa dicinta seluas samudera justru kehilangan semua cinta yang ia punya.

"Nggak, Jeje nggak salah. Ayah yang harusnya minta maaf ke Jeje. Semua ini salah Ayah. Kamu harusnya hidup bahagia, tapi Ayah yang nggak berguna ini menghancurkan semuanya. Maafin Ayah, Je," jelas pria itu mulai digenangi air mata.

"Ayah..." panggilnya sekali lagi masih dengan  suara yang lirih.

Yang dipanggil mengangguk sebagai balasan.

"Jelita juga adik Jeje, 'kan?" pertanyaan itu membetuk aliran kecil di pipi sang Ayah. Meski sudah ia kerahkan seluruh tenaga, namun air mata tetap jatuh mengiringi luka.

"Iyaa, Jelita adik Jeje. Sama kayak Gibran," balas Ayah dengan suara yang agak parau.

"Jeje tau? Jelita mirip sekali dengan kamu. Dia juga punya lesung kecil di bawah mata. Dia juga suka banget jajan yupi. Dia susah bergaul, tapi merasa cukup walau cuma punya satu teman."

Jelita Daneen. Anak Ayah dan Tante Kanya. Usianya masih tujuh tahun. Jehan pernah bertemu dengannya sekali. Sewaktu ia berulang tahun yang ke enam. Memang sekilas, mereka tampak serupa. Apalagi jika dibandingkan ia dan foto Jehan saat berusia sama. Mungkin orang-orang akan kesulitan membedakan mereka. Namun jika diteliti lagi, ada saja hal yang berbeda darinya dan Jelita. Gadis kecil itu berhidung mancung, rambutnya pun panjang dan sedikit ikal, matanya lebih bulat dari milik Jehan. Jelita memang representasi dari namanya sendiri.

"Ayah..." panggilannya kembali terdengar setelah jeda yang cukup panjang.

"Iya, Kak? Ayah di sini."

Jehan mengambil napas panjang meski agak kesulitan. Ia menatap sang Ayah penuh maksud seakan kalimat yang akan ia ucapkan tak akan lagi bisa ia ulang.

"Jangan pernah lihat Jelita sebagai Jeje. Dia pasti nggak akan suka. Tapi Ayah boleh mencintai dia lebih besar dari yang pernah Ayah kasih untuk Jeje."

Entah sebuah peringatan atau malah sebuah tamparan, namun hati yang kokoh itu remuk seketika. Meski tadinya memang sedikit denial, tapi Ardega sadar bahwa ia selalu melihat anak ketiganya sebagai Jehana.

"Cinta untuk Jeje nggak akan pernah habis. Jeje anak Ayah yang paling hebat. Jadi bertahan ya, Nak? Ayah nggak mau kehilangan kamu secepat ini," luka itu kian melebar. Kalau berdamai artinya Jehan harus pergi meninggalkan dunia, maka selamanya ia tak keberatan untuk dimusuhi anaknya sendiri. Selama ia masih bisa melihatnya, selama sehat raganya, selama bahagia bisa menghidupinya, Ardega rela.

"Yah... Mulai sekarang, Ayah bisa titip cinta untuk Jeje ke Gibran. Jeje mungkin nggak di sini, tapi jiwa Jeje akan selalu dibawa Gibran."

Pria tua itu makin tak kuasa. Ia menutup matanya demi menahan nyeri di ulu hati. Pembahasan yang dibawa Jehan menikam ia tepat mengenai jantung. Bahkan bergantian, kini ia lah yang kesulitan bernapas.

"Je, udah, ya? Napas kamu mulai nggak tenang. Jeje istirahat aja, ya? Ayah temani sampai Ibun balik ke sini lagi," Jehana mengalihkan pandangannya. Perlahan mata itu kembali terpejam dengan deru napas yang berat terdengar setiap detik.

Hari-harinya mengamati Jehan beranjak dewasa akan segera usai. Si peri kecil yang masih belum selesai belajar harus pulang karena perjalanannya akan sampai di pemberhentian terakhir. Kalau saja ia bisa memohon belas kasih dari semesta, maka ia akan meminta untuk membiarkan si cinta untuk tinggal lebih lama. Pria tua itu belum bisa menebus semua salahnya. Atau bahkan, seluruh perasaan kecewa yang Jehan punya tak akan pernah bisa ia bayar lunas.

Dari luar, ada Ibun dan Gibran yang mengintip di kaca pintu. Wanita itu tak mampu menahan luka di sanubari hingga air mata terus menjatuhi pipi. Gibran yang ada di belakang memeluk sambil terus menghibur Ibun dengan sentuhan lembutnya. Meski ia juga sama sakitnya, namun ia berjuang sekuat tenaga untuk setidaknya jadi penopang yang kokoh. Karena kalau bukan ia, pada siapa Ibun akan menumpahkan tangisnya?

 Karena kalau bukan ia, pada siapa Ibun akan menumpahkan tangisnya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🧻🧻🧻🧻🧻 nih tisu. siapa tau perlu🤧

Querencia✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang