#Lembar39: Pulang Pada Rumah Yang Salah

192 33 27
                                    

Suara ketukan dari luar membuat Umi yang sedang menunggu bungsunya dengan risau jadi menoleh. Ia bangkit membuka pintu untuk si tamu yang bisa saja anaknya sendiri. Pintu terbuka, pemuda yang basah seluruh tubuh dan wajah yang lebam itu putranya. Rakalingga baskara mengucapkan salam dengan suara yang nyaris parau.

"Ya Allah, kamu dari mana kok berantakan begini?" histeris Umi menyambut kepulangannya. Di belakang juga sudah berdiri Abi dengan tangan yang bertolak pinggang dan siap untuk menceramahinya.

"Dari mana aja kamu?" pertanyaan itu keluar dengan begitu dingin dan tegas. Abi marah sebab ia pergi tak bilang dan pulang dalam keadaan kacau luar biasa.

"Jawab, Raka!!" bentak Abi karena bungsunya itu sama sekali tak mengeluarkan suara apapun.

"Udah, kamu masuk dulu. Ganti baju terus Umi obatin luka-lukanya," wanita itu menuntun bungsunya masuk. Abi yang masih tak habis pikir dengan Raka hanya geleng kepala dan membiarkan istrinya mengurus anak itu terlebih dahulu.

Beberapa menit sudah, Raka telah membersihkan diri dan berganti pakaian. Kini ia duduk di ranjang ditemani Umi dan kotak P3K. Raka meringis sakit saat obat merah itu menyentuh luka di tepi bibirnya. Selesai dengan luka sobekan, Umi berganti pada luka-luka lebamnya.

"Umi," panggil Raka menatap kosong jendelanya yang mengarah langsung pada jendela kamar Jehan.

"Hm?" balas Umi dengan telaten mengompres luka-luka lebam pada wajah putra bungsunya.

"Raka putus," sambung pemuda itu. Namun Umi nampak tak terkejut sama sekali.

"Kenapa? Pasti gara-gara Dyta udah terlalu muak liat kamu yang selalu mendahulukan ke Jeje, 'kan?" tebak Umi membuatnya menoleh.

"Kok Umi tau?"

Umi menghela napas, wanita itu menarik wajah Raka untuk menatapnya penuh agar dapat lebih leluasa mengobati luka lebam Raka.

"Ketebak. Lagian kamu tuh kok plin-plan banget sih, Ka? Coba sekarang Umi tanya, Kamu sayangnya sama siapa? Jeje? Atau Dyta?" pertanyaan yang membuatnya terdiam lama. Iya tau bahwa jawabannya benar Dyta. Namun entah mengapa ada bagian kecil yang menghalanginya. ada satu hal yang mencekat lehernya untuk jangan menjawab dengan segera.

"Raka," panggil Umi menarik bungsunya dari lamunan.

"Yang harus kamu tafsir lebih dulu itu hatimu, baru kepalamu. Kalau dari awal aja kamu udah salah soal menafsirkan, ya selanjutnya akan salah semua," jelas Umi masih dengan kompresannya untuk luka Raka. Pemuda itu masih diam. Entah bingung dengan hatinya atau malah sudah telak karena semua yang Umi katakan adalah kebenaran.

"Raka bingung," sambungnya.

Umi mengusap lembut rambutnya sembari tersenyum. "Nanti juga kamu tau. Yang jelas sekarang, kamu memang harus sendiri dulu. Sampai nanti hati kamu pulang ke rumah yang sebenarnya."

Perasaan yang ia kira telah sampai pada rumahnya kini berputar mencari arah yang tepat. Mempertanyakan setiap detil yang ia terima sebab berbeda dari yang seharusnya. Jehan memang orang yang ia sayang, sama besarnya dengan sayangnya pada Umi. Namun terasa lebih lawas dan sedikit usang nan tua. Perasaan yang pernah ia beri nama sebagai cinta pertama namun berganti jadi persahabatan saja. Perasaan yang kini meminta pengakuan dari pemiliknya untuk lekas di beri suara. Sementara pada Dyta, perasaannya lebih nyata. lebih menyala dibandingkan dengan Jehana. Lebih ranum dan berona. lebih berani ia sampaikan bahkan pada seluruh dunia.

Perasaannya pada Jehana memang sempat ada, namun itu jauh dari kata dewasa. Karena pada akhirnya, Raka tau bahwa ia tidak akan pernah cukup untuk jadi rumah pulang bagi hati sahabatnya.

Dering ponsel berbunyi, Raka meraih benda pipih yang tadi sempat basah karena terkena air hujan. Keadaan ponselnya tidak parah seperti pemiliknya, masih bisa menyala bahkan berfungsi dengan sangat baik. Nama Pier muncul sebagai panggilan masuk. Raka sedikit mengerut karena tak biasanya Pier menghubungi di saat malam begini.

"Nih, kamu lanjutin kompres, ya? Umi siapin makan malam sama teh anget dulu di bawah," Umi menyerahkan kain kompresnya pada Raka dan beranjak pergi.

Setelah wanita itu keluar, Raka mengangkat panggilan Pier.

"Kenapa?" buka Raka tanpa basa-basi.

"Lama banget ngangkat telpon doang," protesnya.

"Iya, sorry, tadi ada Umi," balas Raka yang disahut oh panjang oleh empunya.

"Kenapa?" Rakalingga kembali bertanya.

Pemuda yang katanya sedang dekat dengan Jehana itu diam sejeda. Mungkin sedang memikirkan kata-kata yang pas untuk mengatakannya. Namun semakin lama Raka menunggu, semakin jengah ia dibuatnya.

"Kenapa sih, Pier?" ulang Raka.

"Lo tau nggak Je kanapa?" pertanyaan itu keluar juga dari bibirnya. Sejak tiga hari lalu Pier tidak bisa berhenti memikirkan apa yang salah padanya sampai-sampai Jehana memintanya untuk menjauh.

"Kenapa sama dia? Ada masalah?" Raka pun sedikit bingung. Ia tau keadaan Jehan sedang tidak baik, namun seburuk-buruknya, Jehan tidak pernah meminta siapa pun untuk pergi dari hidupnya.

"Gue nggak tau apa yang salah, tapi dia minta gue buat menjauh karena katanya gue nggak bisa jadi rumah buat dia pulang," Raka diam. Ini juga sempat Jehan bahas padanya. Bahwa Jehan terlalu kelabu untuk jadi seluruh warna yang dibutuhkan Pier. Bahwa Jehan tidak akan pernah bisa jadi jawaban yang jelas untuk Zavier.

"Dia juga pernah bilang ke gue, Pier. Dia nggak bisa jadi warna kanvas lo karena dia cuma abu-abu. Gue pikir, polanya bakal berubah sepanjang waktu berjalan karena gue tau lo jawaban dari semua pertanyaan dia. Tapi, ternyata nggak, ya?" jelas Raka.

Pier makin dibuat bingung. Serumit-rumit semestanya, lebih rumit isi kepala Jehana. Gelap sudah terlalu mendominasi 18 tahun hidupnya. Membuat warna yang ia punya perlahan pudar lalu menghilang. Padahal, jika ia memberi satu saja kesempatan Pier untuk masuk ke hidupnya, mungkin gelap itu akan berubah jadi jingga, bahkan seluruh warna yang ada di dunia.

"Pier, gue nggak bisa jelasin lengkapnya kayak apa. Tapi, Jehan emang lagi nggak baik-baik aja. Dia bahkan nggak mau ketemu gue," sambung Raka setelah jeda yang panjang antara mereka.

"Jadi, dia memang lagi butuh waktu sendiri aja?"

"Hm, ya, lo boleh simpulin kayak gitu."

Pier yang mendapatkan kejelasan akhirnya bernapas lega. Walaupun tak dapat ia sangkal bahwa khawatirnya belum juga hilang. Tapi setidaknya, ia tau bahwa Jehana memang sedang tidak memusuhinya. Itu cukup, daripada ia terus tenggelam dalam kebingungan yang justru membuatnya berpikir yang bukan-bukan.

Panggilan selesai. Raka kembali menatap keluar jendela. Kamar Jehan nampak gelap. Tak biasanya. Jehan yang selalu tidur dalam keadaan lampu menyala, mendadak kamarnya jadi gelap dengan jendela dan tirai yang tertutup rapat. Ini belum cukup larut, tapi keadaan rumah Ibun nampak sangat sepi dan sunyi. Seakan seluruh penghuni rumah pergi. Apa mungkin mereka pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaan Jehan?

 Apa mungkin mereka pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaan Jehan?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Ngaret sehari gapapa deh ya...

Querencia✔Where stories live. Discover now