#Lembar35: Tak Selalu Pelangi Setelah Hujan

178 34 14
                                    

"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi," Ibun bangkit dari duduknya setelah menyelesaikan pembicaraannya dengan wali kelas Jehan.

"Iya, Bu," Pak David membalas jabat tangan Ibun dan membiarkan wanita itu pergi.

Sehari setelah pengumuman hasil tes, Jehan libur sekolah. Hari ini Ibun datang untuk meminta izin langsung agar anaknya diberi izin absen selama beberapa hari atau minggu. Setidaknya, sampai Jehan selesai melakukan biopsi.

Ibun keluar dan langsung disambut Raka yang sejak tadi sudah menunggu di depan dengan gelisah. Dalam kepalanya sibuk bertanya, kenapa Jehan lagi-lagi mengambil absen liburnya? Padahal baru kemarin ia libur karena tiga hari masuk rumah sakit.

"Jeje kenapa lagi, Bun?" tanya Raka tanpa basa-basi.

Sembari berjalan, Ibun menjelaskan kalau Jehan tidak akan masuk sekolah karena keadaannya yang memburuk.

"Jeje lagi nggak baik, Ka. Sindrom nya jadi lebih sering muncul," jawab Ibun bohong.

"Kenapa?" tanya Raka berhenti hingga Ibun reflek ikut berhenti.

Wanita itu menghela napas, "Beberapa hari lalu Ayahnya datang buat pamit dan minta Gibran untuk ikut ke Thailand. Ya, mungkin itu yang jadi masalah utamanya."

Lagi-lagi Ibun berbohong. Kenyataannya, Jehan tidak apa-apa setelah bertemu Ayah. Ia bahkan berani pergi ke kafe sendiri saat malam hari. Tapi demi memenuhi janji, Ibun membohongi Raka.

Pemuda Baskara itu menunduk, merasa iba dengan Jehan yang tidak pernah bisa berdamai dengan masa lalunya. Selalu jadi senjata yang siap menerkam si tuan kapan saja. Kalau saja Jehan tidak melewati itu semua, mungkin proses beranjak dewasanya tak akan seberat ini.

Ibun mengusap lengan Raka, memberi isyarat bahwa Jehan baik-baik saja dan tidak perlu dikhawatirkan. "Ibun pulang, ya? Jeje sendiri di rumah. Tolong kamu liatin Gibran, kalau dia nakal jewer aja telinganya."

Raka terkekeh kemudian mengangguk. Ibun pun beranjak dari sana. Perasaannya jadi tak tenang. Tak biasanya Ibun datang langsung untuk meminta izin. Biasanya hanya lewat surat yang diantarkan Gibran saja sudah cukup. Apa kali ini ada masalah yang lebih serius? Mungkin Raka akan mampir menjenguk sahabatnya pulang sekolah nanti.

"Jeje kenapa?" pertanyaan itu mengagetkan Raka yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya. Ia mendapati Dante berdiri di belakangnya dengan raut datar. Mungkin sedikit khawatir dari bentuk alis pemuda itu yang sedikit turun.

"Bukan urusan lo," jawab Raka hendak pergi. Namun Dante menahan pergelangan tangannya dengan pertanyaan yang sama.

"Jeje kenapa?"

"Gue bilang, bukan urusan lo, brengsek!" seru Raka melayangkan tinjunya pada pipi kiri Dante. Membuat si pemuda jatuh tersungkur karena pukulan yang tiba-tiba.

Raka berlalu begitu saja. Membiarkan Dante yang kesakitan karena pipi serta pinggangnya yang menubruk lantai.

• ° •

"Kita harus secepatnya ambil tindakan, Nir. Sebelum gejalanya makin buruk dan Jehan kehilangan sebagian memori dia," Dokter Rana kembali meyakinkan Ibun yang sedang diambang keraguan.

"Tapi biopsi beresiko pendarahan, Ran. Saya nggak bisa biarin Jeje melalui itu," balasnya masih keras kepala.

"Ini glioma, Nir. Kita aja udah terlalu terlambat tau keberadaannya, gimana bisa kamu ragu dalam keadaan genting kayak gini?!" wanita itu masih tidak percaya dengan temannya yang sulit bergerak cepat. Karena kondisi sindrom nya, Jehan sampai tidak menyadari bahwa ada sel lain dalam kepalanya. Hingga akhirnya sel itu berkembang dan keadaannya yang dikira baik-baik saja, mendadak jadi sangat rentan.

Querencia✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang