Liya - Celaka

421 55 2
                                    

Alma berusaha bersikap biasa saja saat masuk ke dalam restoran padahal hatinya dipenuhi amarah. Ia tersenyum tipis pada rekan kerjanya lalu bersiap-siap bekerja. Saat ia berada di depan kasir, Liya masuk ke restoran dan sialnya memakai kalung impiannya.

"Selamat pagi, Bu," sapa Alma dengan senyum palsu.

"Pagi, kamu ke ruangan saya sebentar ya," balas Liya lalu berlalu pergi ke ruang kerjanya.

"Baik, Bu."

Walaupun bingung mengenai alasan ia dipanggil ke ruangan bos, namun Alma tetap berjalan ke ruangan Liya. Setelah mengetuk pintu, ia masuk dan duduk di hadapan wanita itu.

"Ada apa, Bu?"

"Kemarin, kenapa kamu pulang tanpa izin? Ada hal darurat kah?" tanya Liya langsung pada intinya. Ia mendapat laporan dari pegawai lain mengenai ketidakhadiran Alma kemarin, padahal selama ini Alma rajin bekerja. Walaupun dikenal sebagai bos yang baik dan ramah, namun Liya tetap tegas pada karyawannya, terutama saat karyawannya bermasalah.

"Kekasih saya meninggal, Bu," jawab Alma berbohong. Ia masih marah pada Edelson atas kejadian kemarin. Namun, ia tak menyangka akan mendapat tatapan kasihan dari bosnya.

"Maaf, Alma. Saya tidak bermaksud membuatmu sedih, turut berduka cita atas kepergian kekasihmu. Kau harus tegar ya, ikhlaskan dia, dia sudah bahagia di sana."

Kau juga harus ikhlaskan Edelson untukku, dia sudah bahagia denganku.

Ingin sekali Alma mengutarakan hal itu namun ia hanya mampu mengatakannya dalam hati lalu mengangguk atas ucapan Liya. Jika saja wanita itu jika kekasih yang ia maksud adalah Edelson, mungkin wanita itu akan marah karena ia telah menyumpahi suaminya meninggal atau mungkin akan menangis karena diselingkuh suami tercinta.

"Maaf karena saya belum izin pergi kemarin, saya terburu-buru dan tak mampu memikirkan apapun lagi kecuali kekasih saya."

"Iya, saya tahu. Saya juga tak dapat membayangkan jika kehilangan suami saya. Saya pasti akan sangat terpukul. Namun, lain kali kalau ada keadaan darurat, beritahu saya atau rekan kerja ya."

"Baik, Bu."

"Ya sudah, kamu kembali bekerja."

"Oh ya, Bu. Kalungnya indah, suami Ibu yang belikan?" tanya Alma yang membuat Liya tersenyum.

"Iya, dia romantis sekali kan? Makasih atas pujiannya."

"Ibu beruntung punya suami yang romantis."

Tapi, saya akan mengambil keberuntungan ibu.

*****

Sebentar lagi jam kerja Alma akan berakhir dan digantikan oleh pegawai shift malam. Keadaan restoran cukup ramai karena jam makan malam akan tiba, ia sibuk melayani pembelian pengunjung namun matanya sesekali melirik ke pintu ruang kerja Liya.

Saat melihat wanita itu keluar, ia menoleh ke arah dapur dan memberikan secarik kertas berupa pesanan pengunjung.

"Cepetan, itu pengunjung meja nomor 50 udah nanyain berulang kali."

Koki tersebut mengangguk dan memberikan nampan berisi pesanan pengunjung pada pelayan. Alma pun berjalan menghampiri Liya untuk menahan perempuan itu pergi.

"Bu Liya."

"Ya, ada apa?" tanya Liya berhenti berjalan tepat di samping meja nomor 50.

"Saya lupa bicara tentang cuti kerja yang sebulan lalu saya minta. Apa bulan ini saya boleh cuti?"

"Oh iya, saya juga lupa mengatakan kalau izin cuti kamu udah saya setujui dan

Pelayan yang mengantar makanan melewati mereka dan hendak berjalan di belakang Liya. Alma menjulurkan kakinya sehingga nampan berisi sup panas itu tumpah di daerah pundak dan leher Liya. Alma berusaha menahan senyumannya saat melihat ringisan kesakitan dari Liya. Ia puas melihat wanita itu menderita. Rencananya berhasil, dugaannya tak meleset saat memperkirakan tinggi pelayan pria itu yang melebihi tinggi Liya sehingga sup itu tepat melukai leher Liya

"Argh, panas, tolong," teriak Liya yang membuat semua orang menoleh kepadanya dengan tatapan terkejut sekaligus kasihan. Alma pura-pura sigap membantu dengan meniup leher Liya padahal ia hendak mengambil kalung tersebut dari leher bosnya. Setelah melihat semua sibuk dengan Liya dan tak memperhatikannya, Alma mengambil kalung itu. Liya tak merasakannya karena fokus pada rasa sakit di lehernya.

"Astaga, Bu. Bawa ke rumah sakit aja, takut semakin parah lukanya," ucap Alma yang disetujui oleh semua karyawan. Pegawai pria yang merasa bersalah itu membantu mengantar Liya ke rumah sakit. Saat semua karyawan keluar menatap Liya pergi dengan tatapan sedih. Alma bergegas ke ruang CCTV dan menghapus rekaman hari ini.

"Sakit kan Liya? Itu belum seberapa dengan sakitku. Apa yang menjadi milikku akan tetap menjadi milikku walaupun aku harus menjadi penjahat dalam hidupku sendiri."

*****

Edelson panik saat mendapat telepon dari salah satu pegawai Liya yang mengatakan istrinya sedang berada di rumah sakit. Ia langsung bergegas ke rumah sakit dan mencari ruang rawat istrinya. Saat memasuki ruang rawat, hatinya terluka melihat perban di leher dan pundak istrinya.

"Liya, apa yang terjadi?" tanya Edelson yang membuat semua orang menatap ke arahnya. Liya memeluknya dengan erat sambil menangis. Beberapa pegawai yang ikut mengantarnya ke rumah sakit pun keluar untuk memberi waktu pada sepasang suami istri tersebut.

"Salah satu pegawai ceroboh dan menumpahkan sup panas ke badanku," jawab Liya saat sudah merasa tenang. Ia melepaskan pelukannya dan menatap Edelson dengan mata berkaca-kaca.

"Sudah jangan menangis, yang terpenting kau baik-baik saja. Pecat saja pegawai itu, kesalahannya tak dapat dimaafkan."

"Tidak perlu memecatnya, kasihan dia. Lagi pula dia sudah meminta maaf bahkan bersujud di kakiku. Bukan itu yang membuatku sedih, tapi kalung pemberianmu hilang saat kejadian itu, entah terjatuh atau ada yang mencurinya," ucap Liya dengan nada sedih saat menyadari kalungnya tak ada di lehernya lagi.

Entah kenapa Edelson langsung berpikir ke arah Alma. Ia teringat kata-kata terakhir Alma yang ingin mengambil kembali kalung tersebut dan mengaitkannya dengan kejadian ini. Namun, ia langsung menepis pemikiran bahwa Alma yang mengambil kalung istrinya karena Alma tak mungkin seberani itu berhadapan dengan Liya.

"Lupakan tentang kalung itu, aku akan memberikan kalung yang jauh lebih indah untukmu," balas Edelson untuk menenangkan istrinya.

*****

Tangerang, 28 Juni 2023

Mutiara HitamWhere stories live. Discover now