Edelson - Pria Lain

444 61 3
                                    

Sudah dua berlalu semenjak insiden Liya terkena sup panas dan Edelson fokus menemani istrinya, ia tak sempat menghubungi Alma bahwa ia tak bisa mampir ke apartemen dan anehnya wanita itu tak meneleponnya untuk merengek dan memintanya ke apartemen.

Setelah Liya bisa kembali beraktivitas normal dan lukanya mulai mengering, ia pun memutuskan mendatangi apartemen Alma. Ia terkejut sekaligus khawatir saat melihat apartemen kekasihnya kosong. Saat ia hendak menelepon Alma, pintu apartemen terdengar terbuka lalu wanita yang ia cari datang dengan berjalan sempoyongan.

"Kau mabuk lagi, Alma? Kau pasti habis berpesta di Club kan?!" tanya Edelson dengan membentak Alma yang langsung berbaring di kasur. Awalnya wanita itu tak menyadari keberadaannya namun kini ia menoleh padanya.

"Edelsonku Tercinta, akhirnya kau datang. Aku merindukanmu, Sayang," ucap Alma yang setengah sadar dan mencoba bangun namun malah terjatuh di lantai. Bukannya berusaha bangkit, Alma malah tertawa. Edelson berusaha menahan amarahnya melihat tingkah Alma dan mengangkatnya kembali ke kasur. Saat ia hendak menjauh karena ingin memarahinya, Alma malah menarik tangannya lalu mencium bibirnya.

Dua hari tak bertemu dengan Alma membuat Edelson tak bisa menahan diri dan membalas ciuman dari kekasihnya. Ciuman itu semakin intens dan turun ke leher, namun Edelson terdiam mematung saat melihat kalung di leher kekasihnya, lalu menatap Alma yang tersenyum lebar karena mabuk.

"Ini kalung Liya, kau yang mengambilnya dan menyebabkan Liya terluka?!" teriak Edelson lalu berdiri. Ia sudah kehilangan minat pada Alma saat tahu apa yang dilakukannya pada Liya.

"Ini kalungku, bukan kalung Liya," balas Alma santai seakan tak ada insiden sup panas yang melukai leher Liya.

"Jawab pertanyaanku, kau dalang dibalik insiden dua hari lalu kan?!"

"Iya."

"Sialan kau, Alma! Bagaimana bisa kau melukai seseorang demi sebuah kalung?!"

Edelson yang sudah sangat marah akhirnya memaki Alma, namun sayangnya Alma yang mabuk tampak tak peduli. Edelson menarik tangan Alma dan memaksanya bangun lalu membawanya ke kamar mandi. Ia menyalakan shower dan membuat Alma berjingkat kaget. Ia bahkan menahannya agar tetap di bawah shower walaupun tubuh gadis itu menggigil kedinginan dan memohon padanya.

"Edelson, dingin. Hentikan, aku tak kuat," ucap Alma memohon setelah ia sadar sepenuhnya dan tak dipengaruhi alkohol.

"Ini baru air dingin, Alma. Bagaimana dengan Liya yang terkena air panas?!"

"Liya, Liya, dan Liya! Sedari tadi kau terus saja membicarakan Liya, seakan-akan hanya dia yang terluka! Aku juga terluka, Edelson! Namun bedanya lukaku di hati dan tak terlihat, sedangkan luka Liya terlihat dan mudah sembuh!" balas Alma sambil berteriak lalu mendorong Edelson.

"Alma, berhenti!"

Alma tak mempedulikan teriakan pria itu dan keluar dari apartemen dengan kondisi basah kuyup. Namun, Edelson berhasil menahannya saat di pintu sehingga mereka bertengkar tepat di pintu yang terbuka. Siapa saja bisa melihat pertengkaran mereka.

"Aku tak mau bicara denganmu sampai kau berhenti membicarakannya."

"Kau harusnya merasa bersalah dan meminta maaf karena sudah melukai Liya, bukannya malah kabur dan berteriak padaku."

Ucapan Edelson tak digubris oleh Alma. Alma memenuhi ucapannya untuk tetap diam lantaran topik pembicaraan masih seputar Liya. Edelson yang marah hampir menampar Alma jika saja tak ada seorang pria melewati apartemennya dan menghentikannya.

"Hentikan, apa yang kau lakukan? Kau ingin menampar seorang wanita?" tanya pria bertubuh tinggi, hidung mancung, dan berambut cokelat. Bola mata yang berwarna hijau menandakan pria itu blasteran.

"Ini bukan urusanmu, pergilah," ucap Edelson yang tak suka ada orang lain mencampuri urusannya. Ia hendak menutup pintu namun pria itu menahan pintu tersebut.

"Ini menjadi urusanku karena tindakan kekerasan pada wanita adalah hal yang salah."

Alma yang sedari tadi memperhatikan keduanya sebenarnya merasa risih pada pria asing di hadapannya. Namun, karena ia sedang bertengkar dengan Edelson maka ia memihak pada pria asing tersebut.

"Pria ini memang kejam, dia sering menyiksaku saat marah. Aku basah kuyup seperti ini juga karenanya," ucap Alma seakan-akan Edelson adalah penjahat di sini. Edelson menatapnya dengan tatapan marah yang Alma acuhkan karena ia fokus menatap bola mata berwarna hijau milik pria blasteran tadi.

"Kau bisa ikut aku, Nona. Kebetulan apartemenku berada di samping apartemenmu, kau akan jauh lebih aman denganku."

"Ya, aku mau ikut denganmu. Siapa namamu?"

"Leo, namamu?"

"Aku Alma. Terima kasih atas bantuanmu."

"Sama-sama."

Alma hendak ikut Leo namun Edelson menahan tangannya dan memberikan tatapan ancaman padanya. Bukan Alma namanya jika menurut, ia malah menghempaskan tangan Edelson dan berjalan mengikuti Leo. Edelson membanting pintu dengan keras hingga tertutup karena marah pada Alma yang memilih ikut pria asing. Ia tak bisa menghentikannya karena takut aksinya malah membuat penghuni aparteman lainnya keluar dan melihat pertengkarannya dengan Alma. Jika itu terjadi maka akan membahayakan hubungannya dengan Liya.

Di sisi lain, Alma menoleh ke belakang dan memastikan Edelson sudah masuk ke apartemen. Ia berhenti dan membuat Leo bingung.

"Aku tak jadi ikut denganmu," ucap Alma lalu hendak pergi. Namun Leo malah menghalangi jalannya.

"Kenapa? Kau takut pada kekasihmu? Dia tak bisa menyakitimu dan mengancammu."

"Tuan Leo yang terhormat, aku senang melihat orang baik sepertimu. Namun sayangnya, kebaikanmu tidak berguna untukku. Kurangi sikapmu yang suka ikut campur urusan orang lain," balas Alma dengan nada tak ramah, jauh berbeda saat ada Edelson tadi.

Leo langsung terdiam dan menatap kepergian Alma. Ia tak menyangka akan bertemu wanita sombong dan tak tahu diri seperti Alma. Sedangkan Alma tak peduli dengan penilaian Leo terhadapnya karena Leo tak penting.

*****

Tangerang, 28 Juni 2023

Mutiara HitamWhere stories live. Discover now