Alma -Poligami-

268 50 3
                                    

Alma memperhatikan sekitar jalan yang ia lewati selama perjalanan menuju rumah Sela. Ia sudah sampai di desa yang merupakan tempat tinggal Sela. Awalnya ia pikir kehidupan Sela sangat sederhana karena sikap sahabat masa kecilnya masih sama seperti dulu, ramah dan baik. Apalagi penampilan Sela masih sederhana, namun ia salah.

Setelah turun dari bus, ada mobil merk Pajero berwarna hitam menunggu kepulangan mereka. Mobil itu ternyata milik suami Sela. Ia ingin bertanya tentang kehidupan sahabatnya sekarang, namun merasa bukan waktu yang tepat karena mereka baru bertemu setelah sekian lama.

Alma baru beberapa menit di desa ini, namun ia sudah menyukai suasana sejuk dari desa ini. Desa yang masih asri dengan sepanjang jalan terdapat sawah yang berhektar-hektar. Pepohonan rindang, para penduduk desa yang rata-rata naik sepeda dan keramahan penduduk yang sering menyapa saat melihat mobil Sela melintas. Tampaknya Sela cukup terkenal di desa ini.

"Mama, aku lapar," ucap Harla dengan raut wajah lesu. Perjalanan yang jauh pasti membuat anak itu lelah dan lapar. Alma juga demikian, namun ia malu untuk meminta makan seperti Harla.

"Nanti ya, Sayang. Bentar lagi sampai. Pasti Ibu sudah siapin banyak makanan untuk kita," balas Sela yang membuat kening Alma berkerut bingung. Ibu siapa? Sela adalah anak yatim piatu sepertinya, jadi tak mungkin yang dimaksud adalah ibunya Sela.

Lamunan Alma terhenti bersamaan dengan mobil yang berhenti. Saat Harla dan Sela langsung turun dari mobil, Alma terdiam sesaat sambil menatap keluarga besar yang terdiri atas satu laki-laki tua yang duduk di kursi roda, satu perempuan seusia laki-laki tua, satu perempuan yang lebih tua dari Sela namun terlihat masih cantik dan satu perempuan seumuran Harla. Totalnya ada empat orang yang menunggu kedatangan Sela. Apakah ini keluarga besar Sela?

Alma ikut turun karena Sela sudah memberinya kode untuk turun. Ia semakin bingung saat mendengar Harla memanggil wanita dan pria paruh baya itu dengan panggilan ibu dan bapa. Terlebih Sela mencium pipi pria paruh baya yang duduk di kursi roda.

"Ibu, Bapa, aku kangen," ucap Harla lalu mencium tangan wanita dan pria tua itu. Mereka saling berpelukan layaknya keluarga.

Saat Alma ikut mencium tangan empat orang di sana, mereka terlihat kaget dengan kehadirannya. Untungnya Sela langsung memperkenalkan dirinya.

"Ini Alma, temanku waktu di panti asuhan. Alma sudah seperti saudaraku sendiri dan sekarang dia engga punya tempat tinggal. Dia boleh tinggal di sini kan, Mas?" tanya Sela yang membuat Alma melotot kaget. Bukan karena pertanyaan Sela pada pria tua yang duduk di kursi roda, melainkan karena panggilan Sela untuk pria tua itu. Mas? Siapa pria tua itu? Ia pikir dia adalah mertua Sela karena sudah cocok jadi kakek Harla.

"Boleh, Sayang. Ayo masuk, Nak," ucap pria tua itu dengan ramah.

Alma tak tahu apa ia harus beryukur karena memiliki tempat tinggal sekarang atau harus menolak bantuan ini. Tampaknya keluarga Sela mirip dengan keluarga mendiang ayahnya. Sela mungkin dapat melihat tatapan kagetnya dengan sangat jelas hingga memperkenalkan keluarga tersebut padanya untuk menjawab semua pertanyaan di pikirannya.

"Alma, kenalin ini Mas Danu suamiku. Ini Mbak Sari, istri pertama suamiku sekaligus ibunya Harla. Sedangkan ini adalah Mbak Ani, istri kedua suamiku dan Yumi adalah istri terakhir suamiku," ucap Sela lalu menunduk. Alma masih diam saat keluarga besar itu memperkenalkan diri masing-masing dan mempersilahkannya masuk.

Mereka semua sudah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Alma dan Sela berduaan. Sela menunduk dengan raut wajah malu, sedangkan Alma diam karena terkejut. Tidak ada sedikit pun pemikiran untuk menghakimi jalan hidup Sela karena hidupnya pun berantakan. Ia hanya perlu waktu untuk mencerna permainan takdir. Bagaimana bisa takdir begitu kejam pada anak-anak yang terlahir tanpa orang tua? Tak pantaskah kami diberikan kebahagiaan walau hanya secuil.

"Aku sadar bahwa statusku sebagai istri ketiga sangat memalukan. Tapi, inilah hidupku, Alma. Keluar dari panti asuhan dengan usia yang masih muda membuatku sulit bertahan hidup dan bertemu dengan Mas Danu. Kami menikah dan direstui oleh Mbak Sari dan Mbak Ani. Begitu pun saat Mas Danu menikah dengan Yumi, aku pun merestuinya. Aku ini wanita yang tidak punya harga diri ya?" tanya Sela yang membuat Alma sadar jika sikap diamnya membuat Sela salah paham.

Alma lantas memeluk sahabatnya dan menangis. Ia tak mampu menahan tangisnya dan Sela pun ikut menangis bersamanya. Mereka menangisi kehidupan mereka yang tidak normal. Walaupun menangis, tapi Sela merasa sedikit lega karena Alma tak menghakiminya seperti orang lain.

"Apapun pilihan hidupmu, engga seorang pun punya hak menghakimi kamu. Hidupku jauh lebih buruk dari hidupmu, Sela."

*****

Sela tak menyangka jika kehidupan Ibu Kota yang katanya sangat mengerikan ternyata jauh lebih mengerikan. Terlebih sahabatnya sendiri menjadi korban kerasnya Ibu Kota. Ia prihatin dengan kehidupan sahabatnya dan berusaha menguatkan Alma.

Ia mengenal Alma dengan baik saat di panti asuhan. Alma adalah perempuan yang baik, ramah dan ceria. Ia selalu membuat anak panti lain tertawa. Ia yakin Alma hanya salah jalan saja. Ia juga tak punya hak untuk mencaci kehidupan Alma.

"Pria itu engga pantas kamu tangisi. Dia bahkan engga memilihmu setelah semua yang kau korbankan. Aku yakin masih banyak pria di luar sana yang siap memperjuangkanmu," ucap Sela sambil menghapus air mata sahabatnya.

"Aku engga yakin ada pria yang mau menerima masa laluku yang suram. Mungkin aku akan sendirian selamanya."

*****

Tangerang, 02 Maret 2024

Mutiara HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang