Si Influencer

83 12 2
                                    


Story 4

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Story 4

Semua pikiran kalut Isa teralihkan panggilan masuk. Ponsel bergetar. Lalu berdering. Lembut.

Nomor baru. Tidak dikenal. Isa mengerutkan kening. Siapa, sih, jam istirahat begini?

Isa memilih mengabaikan panggilan itu. Hei, dia butuh sedikit privasi di sini.

Dan ponsel kembali berdering. Nomor yang sama. Isa menghela napas. Mengingat dia orang yang─menurut penilainnya sendiri─menjunjung tinggi moral dan integritas, maka tidak ada lagi alasan menolak panggilan itu. Penelepon bersikeras. Barangkali butuh bantuan. Darurat.

Isa sangat cocok jadi pegawai negeri sipil sebenarnya.

Isa lalu menekan tombol terima, menempelkan telinga ke layar.

"Halo?"

"Hei!! Isa, it's me!" Suara di seberang terdengar ceria.

"Ismi? Ismi siapa, ya?" Isa bertanya memastikan.

"Bukan Ismi! Kamu lupa suaraku?" Tanya suara di seberang.

Isa mencelos. Nah. Dia harus mengingat suara setiap orang yang ditemuinya?

Belum sempat Isa membalas, suara di seberang menyeruak,

"Ini aku, Hibta!"

Oh. Isa akhirnya ngeh. Hibta Nour. Si influencer rupanya.

"Apa kabar? Kamu sehat?" Tanya Hibta. Kalau sudah basa-basi begini, berarti ada sesuatu.

"Iya. Baik." Jawab Isa singkat.

"Eh, kamu ada waktu? Jadi begini, lho, aku kan ..., bla, bla, bla ...," Hibta berceloteh panjang lebar dengan intonasi kilat. Isa hanya mampu menangkap beberapa kata yang terdengar penting. Proyek, pulau, liburan, tim, mengajak.

"Jadi begitu. Bagaimana? Kamu tertarik ikut?" Tandas Hibta.

Isa terdiam. Aduh. Bagaimana ini?

"Halo?"

"Ah! Iya. Maaf. Sepertinya saya tidak bisa. Masih ada pekerjaan kantor. Terima kasih." Isa tersentak dan menjawab jujur.

Yaah ... " Hibta terdengar kecewa. "Kamu yakin?"

Ayolah. Kami ini badut korporat. Isa menghela napas.

"Ya. Seratus persen yakin. Sekali lagi. Maaf." Ujar Isa kemudian.

Senyap sesaat. Lalu terdengar Hibta menggumam di seberang sana.

"Emm ..., baiklah. Tapi kalau kamu berubah pikiran, segera kabari ya. Jangan sungkan. Di nomor ini. Batasnya dua hari lagi."

Isa mengiyakan. Lalu panggilan berakhir.

Isa meletakkan ponsel. Ada-ada saja. Liburan di tengah badai deadline begini? Pencairan invoice di mana-mana.

Isa kembali mengambil ponsel. Ngomong-ngomong soal deadline, ini saatnya medsos mejelang injury time.

Baru saja Isa berseluncur di dunia maya, Veni muncul menghampiri meja tiga.

"Iz, dicari Pak Juarta, tuh." Ujar Veni.

"Oke." Balas Isa singkat. Matanya belum beralih dari layar ponsel.

"Sekarang." Sambung Veni.

Isa sontak menoleh. Alisnya berkerut. Ada apa? Tapi mengingat watak Pak Juarta, Isa langsung bangkit.

Isa segera meninggalkan kantin. Tanpa banyak tanya. Helda bisa menyusul nanti. Isa menaiki lift. Menekan tombol lantai tujuh. Lift terbuka. Isa melangkah cepat. Menuju ruangan paling ujung. Dia segera memutar gagang pintu.

Di dalam ruangan, Pak Juarta sudah menunggu. Ia tidak sendiri. Ada gadis cantik di sana. Isa terperanjat. Bibirnya terbuka sedikit.

Itu Hibta Nour. Apa yang dilakukannya di sini?

Bahkan Vatan juga ada. Tim kreatif kan harus selalu mengekor. Sambil nyengir Hibta melambaikan tangan.

Pak Juarta mempersilahkan Isa duduk. Dengan canggung Isa mendekat.

"Ini teman kamu?" Tanpa buang tempo Pak Juarta bertanya. Isa bingung mau menjawab apa. Dibilang teman, sih, tidak.

"Eh ..., kenal saja sih, Pak." Isa menyahut.

"Teman akrab, kok, Pak. Dari SMA." Sambung Hibta. Isa terperanjat. Mengingat-ingat. Sepertinya bukan.

Pak Juarta balik melirik Hibta.

"Kok Isa tidak pernah cerita soal kamu sebelumnya?"

"Ya namanya juga kejutan, Pak." Jawab Hibta santai. Isa tidak bisa bilang apa-apa. Dia sedang mempelajari situasi. Sembarang berkomentar, bisa membikin situasi jadi runyam. Bisa saja ini konten prank, kan? Ayolah, Hibta.

"Jadi, apa maumu?" Tanya Pak Juarta.

Ada puluhan jawaban alternatif di sana. Ayolah, Hibta, jangan menjawab yang aneh-aneh. Bilang saja hanya mau datang meminjamkan uang. Atau hendak mempromosikan perusahan ini, atau apalah. Atau membahas kepemilikan saham. Pokoknya yang tidak berkaitan dengan pembicaraan di telepon barusan.

Isa melirik ke arah Hibta. Berharap semua pikiran di kepalanya ditangkap. Telepati. Pada kondisi tertentu, Isa memang bisa sebodoh itu.

Hibta masih tersenyum, siap menjawab, lalu kalimat itu keluar dari bibirnya,

"Ya, jadi begini, Pak ...,"

Urita : Isa & Samudra BijaksanaWhere stories live. Discover now