Bow Wave

502 92 40
                                    

Story 9

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Story 9

Hari ketiga. Tim bersiap menyeberang pulau. Ketika hendak berangkat, mendadak Sahabi meminta rute perjalanan diubah.

Yang awalnya To'ua, melompat ke Mala'ea. Alasan keamanan katanya. Sahabi tidak merinci lebih lanjut.

Apa boleh buat. Sahabi adalah tour guide yang dianggap paling berpengalaman. Pak Baito pun dengan sukarela setuju. Yang lain mengikut.

Speed boat disiapkan. Berukuran panjang, dengan kursi yang sangat layak. Semua demi kenyamanan Hibta.

Tim bergegas, mengangkut semua peralatan. Sebelum ke dermaga, Hibta memanggil Isa. Isa pun mendekat.

"Hai, Isa." Ucap Hibta, "Aku hanya mau bilang, kamu tidak usah repot membantu Jessie dan yang lain. Kamu bukan bagian teamwork, kan? Kamu itu special guest-ku, lho. Jadi santai saja, fokus refreshing. Oke?"

Isa tertegun. Aduh. Bukannya begitu. Hanya saja, Isa tidak suka diperlakukan berbeda. Membaur itu penting, lho.

"Oh iya. Satu hal lagi." Bunyi Hibta sebelum melompat ke boat. "Soal kamu dan Vatan. Baguslah." Sambungnya. "Kupikir kalian cocok satu sama lain."

Isa terperangah. Hah?

"Sifat kalian berdua itu mirip, rada-rada polos. Kaku begitu." Ujar Hibta sambil tertawa kecil. "Hehe. Just kidding." Sambungnya.

Isa merasa aneh.

"Tapi serius. Cewek jago karate sama cowok pemalu. Siapa yang tahu?" Hibta masih bersuara.

"Maaf, Hibta, tapi aku—

Hibta terlanjur melompat ke dalam boat. Dan segera masuk ke dalam ruangan. Tidak menggubris Isa. Mungkin dilakukan secara sengaja.

Tidak lama Vatan datang. Seperti biasa, dia terlihat kepayahan saat memanggul tas. Isa jadi salah tingkah. Mendadak kaku untuk membantu Vatan.

Isa hanya duduk mematung di kursinya. Kenapa jadi konyol begini? Tidak ada niat lain selain pure menolong. Ayolah. Kemarin Vatan benar-benar kesusahan. Hibta terlalu jauh menyimpulkan.

Lihat kulit Vatan yang pucat itu. Banyak yang bilang kulit Isa putih bersih, tapi pigmen kulit Vatan jauh beberapa level di atasnya. Dia, eem ..., seperti tanpa darah.

Lihat posturnya yang kurus itu. Padahal kalau naik beberapa kilo, pasti jauh lebih baik. Vatan tidak jelek, ganteng malah. Hidungnya mancung, rambutnya berombak, dicukur kedua sisi. Mirip Kepa Arrizabalaga. Dan—

Isa menepuk jidatnya kuat-kuat. Apa yang kamu pikirkan?

Cukup. Hal yang ingin sekali dilupakan, justru sering muncul dalam pikiran. Isa mengalihkan perhatian pada deru mesin boat yang mulai berpacu. Bising. Buih putih berhamburan.

Speed boat meluncur, membelah laut Pulau Ka'enua. Cuaca teduh dan cerah. Pantulan matahari berkilat-kilat di atas air yang tenang.

Dua puluh menit berlalu. Tim duduk di kursi masing-masing. Dalam ruangan yang kedap, suara bising mesin tidak terlalu terdengar.

Melihat Hibta yang tampak suntuk, Pak Baito berinisiatif membuka percakapan.

"Dulu tidak selama ini. Tapi sejak kilang minyak beroperasi, rute yang diambil harus berputar." Suaranya sedikit ditinggikan.

"Bukan main. Mereka yang datang, kita yang harus menurut." Sahabi ikut berkomentar.

"Ya. TEV ngomel-ngomel, saat tahu izin pengeboran minyak diloloskan." Balas Pak Baito.

"TEV?" Tanya Isa.

"Kita akan bertemu mereka nanti."

Speed boat terus melaju. Karena bosan, Hibta memilih keluar, menuju haluan. Isa memilih ikut. Dia ke sini untuk melihat laut lepas, bukan ruang kedap suara. Sahabi mendampingi keduanya.

"Itu kilang minyaknya." Sahabi berteriak sambil menunjuk cakrawala sebelah utara. Isa menoleh. Tampak kilang yang sejak tadi diperbincangkan. Jaraknya cukup jauh.

Sambil memegangi topi yang berkibar diayun angin, Sahabi menyerahkan teropong kepada Isa. Isa mengamati kilang minyak itu lewat teropong. Terlihat lebih dekat dan jelas.

Kilang itu adalah kilang minyak yang sama yang pernah dilihatnya sewaktu masih dalam pesawat. Tiga crane raksasa kokoh berdiri, terus bekerja mengejar target barel. Manusia tampak seperti semut. Kilang itu ternyata lebih besar dari bayangan Isa sebelumnya.

Boat terus melaju. Kilang menjadi samar, sebelum tenggelam dari pandangan. Laut bergelombang sedang. Mengayun boat dengan lembut.

***

Perairan cukup ramai. Sudah dua kapal yang berpapasan dengan speed boat. Dan sekarang, kapal ketiga tampak di depan sana.

Kapal besar dan speet boat saling berpapasan. Berjarak sekira lima puluh meter. Kapal berada di arah jam tiga. Bow wave yang ditimbulkan cukup besar, cukup membuat speed boat terombang-ambing. Hibta berteriak kecil. Agak panik.

Isa mengamati kapal itu. Megah. Kontainer aneka warna bersusun rapi di atas geladak. Berarti tipe pengangkut. Entah untuk logistik, atau mobilisasi minyak mentah.

Kapal berlalu. Bow wave menghilang. Speed boat kembali melaju dengan tenang.

Mendadak terdengar dentuman keras. Semua sontak menoleh. Isa melompat ke sisi kanan haluan. Menengok ke sumber suara. Arah jam lima.

Isa menyaksikan buih putih besar bergulung-gulung meliputi kapal pengangkut. Sesuatu baru saja terjadi. Jarak kapal dan speed boat belum terlalu jauh. Isa berpikir sebaiknya boat berputar.

Dan dentuman keras kembali terdengar. Kali ini Isa menyaksikan buih putih membuncah hebat, meledak, terangkat ke atas. Tinggi sekali. Tepat di lambung kapal. Hibta berteriak histeris. Sangat ketakutan. Mata Isa tidak berkedip.

Butir air bertebaran di udara. Laut mendadak bergelombang. Speed boat sekonyong-konyong limbung. Hibta merunduk sambil menutupi telinga. Agha keluar dari ruangan dan langsung melompat, mencoba melindungi Hibta.

"Bum!!" Dentuman kembali terdengar. Buih putih meledak dahsyat, kembali menghantam kapal.

"Hei! Ada kecelakaan!" Isa meneriaki juru kemudi di anjungan, "Putar balik!"

"Jangan! Tetap lanjut!" Balas Sahabi marah.

Isa terdiam. Kembali menoleh ke arah jam lima. Jarak speed boat semakin jauh. Kapal pengangkut terlihat limbung, kobaran api mulai terlihat.

Kobaran api.

"Hei! Ada kebakaran! Mereka butuh pertolongan!" Tidak cukup berteriak, Isa melangkah masuk menemui juru kemudi, tapi Sahabi mencegat.

"Sia-sia! Juru kemudi di bawah perintahku!!" Teriak Sahabi gusar.

"Tapi ada orang di sana! Ayolah!" Isa memekik keras.

"Tidak bisa! Kamu tidak tahu apa-apa! Turuti saja kataku, atau kita semua celaka!" Sahabi sudah di puncak emosi.

Isa tidak bisa berkata-kata lagi. Speed boat masih limbung. Tapi terus melaju. Hibta masih merunduk sambil menutup telinga. Agha merangkul Hibta erat-erat.

Isa melihat ke arah jam enam. Perasaannya campur aduk. Kapal itu semakin jauh. Kobaran api makin membesar. Asap pekat mulai membumbung, hitam membelah langit yang biru.

Urita : Isa & Samudra BijaksanaWhere stories live. Discover now