Canon Ball!!

58 10 0
                                    


Story 8

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Story 8

"Kita ke perkampungan suku Bajau." Terang Pak Baito sebelum naik mobil.

Isa termenung sesaat. Dia pernah membaca tentang suku itu sebelumnya.

Mereka adalah suku pengembara yang memilih menetap di atas laut. Mereka manusia laut. Memutuskan hidup, mendirikan permukiman, makan, beranak, bekerja, dan mati di pelukan asin air samudera.

Konon mereka berasal dari Filipina Selatan. Alasan kenapa mereka memilih hidup di laut masih belum jelas. Tradisi lisan mengatakan, leluhur suku Bajau adalah tentara kepercayaan raja, yang ditugaskan mencari putri yang dikabarkan menghilang ke laut saat badai.

Pada akhirnya mereka gagal menemukan sang putri. Malu dan tidak punya muka untuk bertemu raja di daratan, mereka memutuskan untuk 'membuang diri' ke laut. Tapi penelitian modern memberi penjelasan yang berbeda. Maka semua masih menjadi misteri.

Mobil menyusuri jalan aspal yang berbatasan langsung dengan garis pantai. Cuaca mulai terik. Isa menyaksikan orang-orang─atau anak-anak, melihat postur tubuh─yang berdiri berendam dalam air laut setinggi pinggang. Entah apa yang diperbuat.

Laut berwarna biru gelap, dan tosca di area yang lebih dangkal. Angin menerpa wajah Isa. Rasanya sejuk dan beraroma garam. Isa tersenyum. Momen seperti ini tidak setiap hari, kan?

***

Lantai papan berderit keras saat tim menginjakkan kaki di perkampungan Bajau. Tim menyusuri jalur utama yang diapit rumah-rumah kayu. Memang seunik itu. Air laut di bawah sana. Jernih dan tenang.

Melihat pengunjung baru, bocah-bocah Bajau berhamburan keluar. Menyambut dengan meriah khas anak-anak. Mereka sering melihat orang darat datang, tapi jarang ada yang se-kinclong Hibta.

Tim berinteraksi dengan anak-anak. Asyik saja. Orang-orang dewasa juga ada. Tersenyum melihat tamu 'kesekian' bulan ini. Beberapa orang tampak begitu serius dan acuh. Memilih sibuk memperbaiki jala, atau sekadar menenangkan anak yang rewel.

Anak-anak itu mengekor kemanapun tim melangkah. Sampai di ujung dermaga, Pak Baito mengeluarkan puluhan uang koin dari tas pinggang miliknya, dan langsung melemparnya ke laut.

Sontak anak-anak Bajau melompat ke air, terjun bebas memburu koin-koin itu. Bunyi 'bum' terdengar bersahutan. Buih-buih berwarna putih berhamburan. Anak-anak itu menghilang dalam air yang biru pekat.

Beberapa detik kemudian, kepala beberapa anak menyembul dari air. Mereka berteriak riang, sambil mengancungkan tangan memperlihatkan koin yang berhasil didapat.

"Awas!! Canon ball!!" Mendadak Agha dan Mundo ikut melompat, meluncur ke dalam air dalam. Bunyi 'bum' terdengar dua kali.

Hibta dan Jessie tertawa terbahak-bahak. Kaget sekaligus merasa geli. Semua dilakukan secara spontan. Vatan sibuk menjepret. Isa pun tidak lepas dari ponsel pinjaman.

Anak-anak itu memanjat kaki dermaga, berteriak sambil melompat-lompat senang. Perhatian Isa lantas teralihkan oleh kedatangan anak-anak lainnya. Mereka berjalan sambil menenteng keranjang. Melihat keramaian, mereka mendekat.

Isa melihat pakaian anak-anak yang baru datang itu basah sepinggang. Oh. Mereka rupanya. Yang terlihat berendam tadi pagi.

Pak Baito menyapa anak-anak itu. Menanyakan hasil pancingan. Anak yang ada di dekat Isa lantas membuka tutup keranjang miliknya. Isa mengintip. Oh. Beberapa ekor ikan segar di dalam keranjang.

"Hei, boleh kufoto?" Tanya Isa. Anak itu mengangguk senang. Isa tertarik dengan keranjang anak itu. Terbuat dari anyaman bambu, dan tali yang dipakai untuk menyandang terbuat dari kulit kayu.

Selesai Isa memotret, anak itu berteriak memanggil anak lain. Tidak lama kemudian, seorang bocah perempuan datang. Usianya mungkin empat tahun. Dia mendekat dengan malu-malu. Tangannya disembunyikan ke belakang.

"Sini, biar kofoto Anak Cantik." Ujar Isa dengan nada seramah mungkin.

Bocah itu menggeleng malu. Anak dengan keranjang menegurnya, harus berani berfoto. Bocah itu menurut. Kulitnya cokelat gelap karena terlalu sering kena matahari. Rambutnya pirang, entah alami atau sengaja dicat.

Bocah itu mengeluarkan tangannya dari belakang, memperlihatkan apa yang disembunyikannya sejak tadi.

Ternyata bocah itu memegang kantung plastik bening, di dalamnya seekor ikan kecil berenang bolak-balik.

Ikan itu berwarna kuning mencolok, bagian kepala berwarna hitam dengan sedikit garis putih. Bocah perempuan itu tersenyum, menunjukkan 'mainan' miliknya dengan bangga.

Isa tertawa kecil, dan segera memotret.

Waktu siang sepenuhnya berlangsung di perkampungan Bajau. Meskipun matahari sedang panas-panasnya, semua orang menikmatinya.

Menjelang sore, tim dan pemrakarsa berputar menuju penginapan. Waktunya kembali. Setelah makan siang yang mengesankan, lengkap dengan jus jeruk dan ikan bakar asli.

Sebelum berangkat, Hibta mengusulkan tim untuk singgah berenang di Pantai Soumba. Toh jaraknya dekat dengan penginapan.

"Kan tidak adil, hanya Agha dan Mundo yang basah. Cewek-cewek belum." Kata Hibta.

Semua setuju. Dua mobil kembali menyusuri jalan aspal. Sesampainya di pantai, semua orang melompat turun.

Tanpa sempat gantian, Hibta, Jessie dan Pobita segera berlari, menceburkan diri ke air laut. Agha dan Mundo memilih bersantai, meringkuk dalam hammock yang digantung di antara dua pohon kelapa.

"Hei! Isa! Kesini!" Teriak Hibta sambil melambaikan tangan, saat melihat Isa yang hanya berdiri plonga-plongo di atas pasir.

"Jangan bilang kamu alergi laut, seperti Vatan!" Sambung Hibta sambil tertawa.

Isa menoleh ke arah Vatan. Serius? Vatan hanya tersenyum.

Hibta kembali memanggil. Isa mengangguk. Sudah dua kali, tidak enak rasanya. Isa melangkah pelan-pelan, kakinya terseok-seok melalui gumpalan pasir yang basah.

Isa sepenuhnya melewati garis pantai. Lalu air menyentuh kakinya, lalu betis, paha, sampai pinggang. Rasanya dingin. Sekaligus hangat. Isa menarik napas kuat-kuat. Dan langsung membenamkan kepalanya ke dalam air. Lima detik kemudian Isa terbangun, berseru antusias. Hibta nyengir melihat kelakuan Isa.

Hei, bukannya lebay, Isa memang sangat jarang ke pantai.

Dan sekarang, dia sedang menikmati panorama yang selama ini hanya bisa disaksikan dari desktop komputer kantor: laut yang segar, pasir yang jernih, pohon kelapa yang semarak, dan langit yang tenang.

Urita : Isa & Samudra BijaksanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang