Bagian 12

4.3K 604 99
                                    

Jangan lupa vote dan komen biar aku semangat update ya kawan💙💛
















Beberapa hari Jeno sempat menghilang dari sisi Renjun. Beberapa hari itu pun tak hanya si mungil yang merasa kesepian, Jeno rupanya lebih tersiksa. Sang kakek memintanya, dan saudaranya yang lain ikut dalam camp berburu. Mau tak mau Jeno harus melaksanakan itu, agar segala tingkahnya tak dicurigai.

Kelam malam, binar mentari pagi, teriknya siang, habis tenggelam dalam rasa rindu yang mencekam. Ingin rasanya Jeno berlari sekuat tenaga guna memeluk Renjun dengan erat, dan mengatakan betapa berat hari-harinya jauh dari si mungil tercinta.

Bagaimana tidak, waktunya terasa begitu menyiksa. Dengan berbagai kalimat pahit yang harus ia dengar, dan telan dari sang kakek yang kerap kali membandingkannya. Menjadi sosok Alpha yang harus terlihat paling lemah tak berdaya diantara saudaranya. Menjadi korban tiap kali mendapat hukuman, atau menyiapkan badan saat diadakan latihan pertarungan.

Jujur saja, Jeno lelah pura-pura terus mengalah. Rasanya ingin ia dorong hingga jatuh setiap kali saudara-saudaranya membuat serangan. Ingin sekali ia buktikan pada sang kakek bahwa setiap kalimat hinaan yang terlontar itu tidaklah benar, melainkan hanya sandiwara semata. Ingin sekali Jeno menunjukkan kekuatan aslinya, yang bahkan bisa menghancurkan tempat camp itu dalam hitungan detik saja. Namun ia tak bisa gegabah. Karena Jeno harus tetap andil melindungi kedua orangtuanya. Terlebih hal itu sangat beresiko untuk dirinya sendiri.

Hari itu karena menghindari kecurigaan Mark padanya, terpaksa Jeno tidak bisa berbuat banyak saat Renjun berseteru dengan sepupunya. Sekuat tenaga Jeno mencoba menahan diri agar tidak melayangkan pukulan pada Mark karena ucapannya yang begitu kasar pada sang pujaan hati. Kemudian kekesalannya ditambah dengan Renjun yang ia lihat berinteraksi dengan orang lain, membuat Jeno benar-benar terbakar api cemburu.

“Jatuh cinta padamu sangat sulit, tapi aku menyukainya. Hidupku lebih indah saat aku menyadari perasaanku pada mu”

Jeno memandang bulan sabit malam itu. Cahayanya begitu cantik, namun masih kalah jika dibandingkan dengan kecantikan Renjun. Jika Renjun bicara bahwa Jeno begitu gila karena perasaannya, maka akan Jeno tunjukkan segila apa yang bisa ia lakukan untuk menarik Renjun berada di sampingnya.
















Kembali pada pagi hari tanpa pesan Jeno. Lelaki itu juga kembali tidak menghubunginya, walaupun Renjun tidak begitu mengharapkannya, hanya saja ada sedikit pertanyaan kemana kiranya sosok yang kini berbalik sering mengganggunya itu.

“Pagi nenek” ujar Renjun menyapa sang nenek yang sudah menyiapkan sarapan untuknya di meja makan.

“Pagi, kau tidak bilang bahwa sekarang kau punya kekasih” ucapan sang nenek membuat kening Renjun berkerut. Apa maksudnya itu. Dari mana pemikiran neneknya berasal.

“Kekasih? Nenek... Aku sama sekali tidak memiliki kekasih. Siapa yang mengatakan itu pada nenek?”

Nenek Renjun duduk di kursinya, menyiapkan sepotong roti, dan mengolesinya dengan selai sebelum menanggapi ucapan cucunya itu. “Kalian bertengkar? Dasar anak muda... Memang ada saja kisah cintanya”

Renjun semakin dibuat bingung, terlebih dengan sesuatu yang kini dirasa merangkul pinggangnya. Lengan kokoh yang begitu erat melingkar di sana. Renjun menengok ke samping dan terkejut begitu mendapati sosok yang beberapa hari ini mengganggu kehidupannya, tiba-tiba berada di sana.

“Jeno?”

Lelaki itu tanpa rasa bersalah tersenyum dengan lengkungan bulan sabit di matanya. Setelah itu membubuhkan kecupan di ranum Renjun yang sedikit terbuka. “Pagi sayang, maafkan aku karena membuatmu kesal sampai kau tidak mengakui ku sebagai kekasih mu di hadapan nenek”

VIAGGIO D'AMORE - NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang