Bagian 18

3.9K 500 53
                                    

Jangan lupa vote & komennya kawan.
















Setiap orang punya luka. Entah mereka yang pandai menyembunyikan, atau memang sudah temukan penyembuh dukanya. Tidak ada yang tahu pasti kapasitas setiap manusia kala menyimpan lara. Mungkin ada yang berpikir masalah itu biasa saja, padahal bagi sebagian orang hal itu menjadi bencana. Ada pula yang yang bisa memahami sulitnya merangkak dalam luka.

Mereka yang tertawa juga pernah terpuruk. Mereka yang terlihat bahagia juga pernah merasakan sepi pada malam-malam kelamnya. Mereka yang nampak ceria juga pernah merasa sakit pada kerongkongan demi menahan air mata yang hendak luruh, tumpah.

Semua tergantung pada pikiran kita. Sampai mana emosi lebih menguasai diri dibandingkan akal sehat. Meski begitu, tak layak jika semua sakit kemudian dipakai bumerang untuk saling membandingkan. Siapa yang lebih menderita, siapa yang paling tercekik dalam sesangsara, siapa yang paling malang dalam setiap ceritanya.

Tak ada. Tak bisa jika setiap luka harus dibandingkan, sedang setiap manusia punya kapasitasnya masing-masing dalam menanggung rasa. Lantas bagaimana harus bersikap? Cukup dengar dengan baik, jika memang tak bisa memahami, atau untuk sekedar mencoba mengerti. Kemudian jangan paksa. Jangan paksa seseorang untuk segera pulih dari lukanya, karena kita tidak pernah tahu sedalam apa sakit itu membekas di hati mereka.

“Jeno aku tidak memiliki kenangan baik dalam kehidupan pernikahan yang ku lihat secara nyata di sekitarku. Semua membuatku berpikir tak akan pernah mengambil langkah itu”

Jeno mendengar, dan aksanya sedikit terganggu dengan hal itu, namun ia tak bicara, kemudian memilih bungkam hingga Renjun usai dalam kalimatnya.

“Kakek dari babaku dulu sering melakukan kekerasan pada nenek, dan aku sempat melihatnya sewaktu kecil, hingga kemudian kakekku meninggal karena sakitnya, meski begitu nenek tetap sabar merawat beliau.”

Renjun tak pernah menyaksikan hal nyata adanya kisah cinta abadi, atau mungkin cinta yang benar-benar indah di dalam pandangannya. Semua itu hanya ia dapatkan dari film-film yang dilihatnya, atau series drama yang sedang ia ikuti.

“Baba terlihat sangat mencintai mama bahkan hingga ia begitu tak menerima kehadiranku. Tapi nyatanya ia tetap bisa membiarkan orang lain masuk, dan mengisi tempat mama di rumah kami. Oh, haruskah aku sebut rumahnya?”

Semua luka itu kemudian menjadi alasan mengapa Renjun kehilangan kepercayaan atas cinta yang abadi. Toh semua yang ada di dunia ini memanglah tiada yang kekal. Ia bahkan tak yakin apakah cinta Jeno padanya akan terus ada, ataupun sebaliknya.

“Semua memori tersisa membentuk pemikiran ku saat ini. Aku bahkan tak yakin kau akan terus menggenggam tanganku, dan mencintaiku selamanya”

Alis Jeno menyatu mendengar hal itu. Ia mengerti akan semua sakit yang Renjun miliki, hingga kini membentuk ketidak percayaan tentang kehidupan pernikahan. Tapi tetap masalah hati ia tak bisa setuju akan itu.

“Aku tidak menjamin bahwa kau akan selalu bahagia bersamaku. Pasti akan ada hal yang harus kita selesaikan, kemudian membentuk pendewasaan.” tukas Jeno tanpa melepas tatapnya dari sang pujaan hati. “Perdebatan kecil, kesalahpahaman, atau hal lainnya. Tapi bukankah harus begitu di dalam suatu hubungan?”

Renjun mengangkat jemari lentiknya, mengusap rahang tegas sosok di hadapannya. “Terlalu banyak juga akan berakhir saling menyakiti. Semua sakit itu menumpuk seolah menjadi senjata yang membunuh jati diri mu secara perlahan, Jeno–ya”

Jeno termenung untuk sesaat. Kondisi keluarganya yang bahkan bertolak belakang dengan kehadiran Renjun juga bisa menjadi senjata pada hubungan mereka. Ia takut Renjun akan terluka di dalam pernikahan mereka, namun ia pun tak bisa jika harus melepaskan Renjun, dan menyerah pada kakeknya.

VIAGGIO D'AMORE - NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang