Dua belas

3.9K 512 12
                                    

"Nanti malam Hana bakal dijemput sama papanya dan setelah itu kamu nggak akan ketemu Hana lagi."

Sunghoon nggak ngelepasin tatapannya dari mata Sean. Sean menunduk, nggak sanggup membalas tatapan Sunghoon.

"Silahkan kamu berpikir sampai nanti malam."

Sunghoon berjalan ke pintu, membuka pintunya lalu keluar. Meninggalkan Sean yang terdiam.

Dia bagaikan bertemu buah simalakama. Apapun langkah yang ia ambil, tetap saja berkemungkinan menjauhkannya dari Hana.

Jika ia jujur, mungkin saja Sunghoon akan takut lalu menjauhkan Hana darinya agar tak terjadi apa-apa pada gadis kecil itu.

Kalau ia tak jujur, Sunghoon akan membuangnya.

Sean menghembuskan napas kasar. Menutup matanya.

Apa yang harus ia lakukan?

Lalu, Sean membuka matanya.

Tapi, ini adalah dua kondisi yang berbeda. Jika ia jujur, bisa jadi Sunghoon takut, bisa jadi tidak.

Sean menatap pintu.

Baiklah, ia sudah memutuskan.

Sean berdiri dari duduknya, berjalan ke pintu lalu membukanya. Melotot melihat Sunghoon yang turun tangga dan sudah rapi memakai jaket serta ditangannya ada kunci mobil.

Nggak, Sunghoon nggak boleh pergi.

Sean berlari mengejar Sunghoon, menahannya.

"I'll tell you, Om. Please, don't go."

Sunghoon berhenti. Menatap datar ke Sean.

"Apa?"

"I'll tell you everything."

"Kamu bakal buang-buang waktu saya."

"No, saya serius om."

Kali ini, Sean mantap membalas tatapan itu.

Sunghoon mencari kebohongan di mata Sean, tapi mata itu hanya memancarkan keseriusan.

Sunghoon percaya.

Dengan dagunya, Sunghoon menunjuk sofa ruang tamu.

Sean mengangguk, berjalan ke sofa diikuti Sunghoon di belakangnya.

Mereka duduk berhadapan.

Sunghoon membuka jaketnya. Lalu duduk bersandar.

Sean memulai.

"Saya manusia biasa om. Sekarang kuliah semester 6. Saya suka keramaian, saya sering juga ngumpul sama teman-teman kampus. Tapi kadang saya butuh waktu sendirian. Biasanya saya bakal pergi ke taman. Ngeliat anak-anak yang lagi kumpul sama keluarganya. Sesuatu yang saya nggak pernah rasain."

Sean mengambil napas sejenak.

"Hari itu, saya ketemu sama seseorang, dari fisiknya kita seumuran, tapi anehnya orang tuanya nggak biarin dia pergi jajan sendirian, nggak ngebolehin dia pegang hp, bahkan buat ambil foto. Tapi saya tertarik buat jadiin dia teman, terus saya deketin. Tapi orangtuanya langsung pasang badan. Dorong saya ngejauh terus ngelarang saya deketin anaknya."

Lagi, Sean mengambil napas.

Sunghoon masih terus setia mendengarkan.

"Tapi saya nggak menyerah, hari-hari berikutnya, saya ketemu dia lagi. Tapi
Kali ini orangtuanya ngebiarin anaknya ngobrol sama saya. Namanya Riki. Satu tahun di bawah saya.

Kita jajan bareng, baca buku bareng, cuma di taman itu kita bisa ketemu. Riki nggak dibolehin pergi kemana pun sama orangtuanya. Selain taman.

Ternyata, Riki dari SD udah homeschooling sampai tamat SMA. Katanya dia sama sekali nggak punya teman. Dan saya teman pertama dan satu-satunya Riki."

My Barbie Doll | Sunsun's storyМесто, где живут истории. Откройте их для себя