Tiga puluh tujuh

5.4K 504 95
                                    

Sean tiba-tiba terbangun. Jam yang ada di sisi sebelah tempat tidurnya menunjukkan pukul 2 dini hari. Tubuh telanjangnya di tutupi selimut dengan tangan kekar berada di pinggangnya. Ia bisa merasakan deru napas teratur Sunghoon di dekat leher. Ia berada begitu dekat dengan Sunghoon malam ini.

Mereka melakukan hal yang bahkan tidak pernah terbayangkan oleh Sean akan ia lakukan bersama Sunghoon.

Tadi malam, Sunghoon meminta izinnya untuk 'masuk', dan Sean tanpa ragu mengangguk. Sunghoon juga gentle, bertanya apakah ia harus lanjut atau berhenti saat air mata Sean mengalir, memperlakukan Sean dengan sangat lembut dan hati-hati.

Sean tersenyum.

Ia sayang Sunghoon, tak tau kapan rasa itu muncul. Dan ia juga tau, Sunghoon juga menyayanginya.

Dan hal itu, membuat Sean berpikir untuk tidak menyakiti Sunghoon.

Tidak menyakiti Sunghoon artinya, ia harus berada di sisi Sunghoon. Berada di sisi Sunghoon artinya, ia tidak boleh meninggalkan Sunghoon. Dan itu berarti, ia harus di sini, sebagai Sean yang mengingat setiap kenangan yang mereka lalui 3 bulan ini. Bukan sebagai Sunoo yang akan melupakan semuanya.

Tetapi, anggaplah jika memang dirinya memilih untuk berada di sisi Sunghoon. Tetapi, jika sesuatu terjadi pada dirinya dan menyebabkan batrainya habis dan Sunghoon tak ada di sana. Maka dirinya tetap saja akan meninggalkan Sunghoon. Bahkan lebih parah. Mereka tidak akan bertemu lagi.

Lalu jika ia memilih kehidupan awalnya sebagai Sunoo, artinya ia akan menyakiti Sunghoon. Tetapi, setidaknya mereka masih bisa bertemu lagi. Bukankah mereka satu fakultas? Rasanya, untuk bertemu lagi dengan Sunghoon tidak akan sulit. Dan jika benar mereka ditakdirkan bersama, maka Sean akan kembali menyukai Sunghoon.

Pikiran Sean berkelana. Kenapa ia harus terbangun? Tidak bisakah ia tidur menikmati pelukan Sunghoon dan melupakan kekhawatirannya?

Tidak.

Sean memang harus berpikir.

Dan ia sudah memutuskan, ia akan kembali pada kehidupan lamanya sebagai Sunoo.

Sekarang yang harus Sean pikirkan adalah, apakah ia harus memilih membiarkan Sunghoon mengantarkannya ke rumah Riki atau pergi tanpa kabar.

Ya, setelah melakukan 'itu', mereka melakukan pillowtalk. Sean menceritakan beberapa hal yang ia dengar dari Riki. Sunghoon memeluknya sangat erat, seakan Sean bisa menghilang detik itu juga. Selama bercerita, Sunghoon hanya diam. Bahkan setelah beberapa menit Sean selesai, Sunghoon tetap diam.

Baru Setelah Sean berdehem, Sunghoon membuka mulut.

"Lusa kakak antar, besok kakak ada rapat sampai malem. Kamu pasti capek, ayo tidur."

Dan Sunghoon pun tidur, meninggalkan Sean dan jutaan perasaan tak enaknya.

Sunghoon baru bisa mengantarkannya lusa. Tapi itu bukan masalah. Bahkan 3 minggu atau sebulan yang akan datang pun bukan masalah. Yang menjadi masalahnya adalah, bukankah menyaksikan secara langsung orang yang kita sayangi pergi akan terasa lebih menyiksa dibandingkan mendapati bahwa orang itu tiba-tiba tidak ada?

Sean merasakannya sendiri. Melihat punggung ayahnya yang semakin menjauh tanpa melihat ke belakang sama sekali. Selama beberapa minggu Sean merasakan sedih dan juga hampa karna kehilangan sosok ayah, meskipun ayahnya sudah berselingkuh, bukan berarti Sean akan baik-baik saja ketika melihat ayahnya perlahan menjauh.

Sedangkan sang ibu, pergi begitu saja tanpa memberinya kabar. Hanya meninggalkan sebuah surat yang bertuliskan 'mama pergi ya, pesawatnya pagi banget. Jaga diri baik-baik.' Hanya itu. Dan rasa sedihnya tidak sebesar saat ayahnya pergi. Sean hanya merasa sedih beberapa hari saja.

My Barbie Doll | Sunsun's storyWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu