15. Serunna: Terbakar

12.4K 1.2K 63
                                    

ENJOY!!!

*********

Pagi-pagi sekali aku dan Deskara sudah disibukan dengan kegiatan menyiapkan keperluan piknik kecil-kecilan. Sekitar 30 menit dari sini ada danau yang sering dijadikan tempat kumpul keluarga oleh warga sekitar. Awalnya Deskara ingin mengajakku belanja dengan keliling mall lalu menonton bioskop tapi aku merasa duduk berdua dengan Deskara di pinggir danau jauh lebih bermakna, lagi pula kita masih butuh banyak uang untuk keperluan anak kita nanti.

"Bawa apa lagi ya, Unna?" Tanya Deskara setelah ia memasukan semua makanan yang kami buat ke dalam tas ranselnya.

"Udah semua," Jawabku dengan senyum yang tidak pernah selebar ini.

Ah ya, selain kalung yang dibelikan Deskara, laki-laki itu juga membelikan satu set pakaian yang senada dengan bajunya. Aku menatap pantulan diriku di cermin kamar, cermin yang menyatu dengan pintu lemari baju.

Aku mengelus perutku yang mulai terlihat dan tersenyum kecil melihatnya.

"Kamu suka bajunya, Unna?"

"Banget, cocok sama aku."

Deskara mendekat ia menyentuh bando yang kukenakan dan sedikit merapikannya, ia juga merapikan rambutku dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya.

"Udah cantik, Mama Unna."

"Bukannya kamu maunya di panggil Ayah, ya? Kata kamu panggilan Ayah itu cocoknya sama Bunda."

"Iya, tapi kamu lebih cocok dipanggil Mama kayanya."

"Kenapa?" Tanyaku heran, jujur sampai sekarang aku masih belum kepikiran mau dipanggil apa.

"Cocok aja sama mukanya."

"Terus kamu mau dipanggil apa? Papa? Ayah?"

Deskara menggeleng dengan cepat, lucu sekali.

"Aku mau dipanggil, Bapak."

"Hah?" Aku terperangah, kenapa tiba-tiba mau dipanggil Bapak.

"Iya aku mau dipanggil, Bapak. Bapaknya anak-anak, Bapak Deskara. " Deskara mengucapkannya dengan binar yang tidak hilang dari wajahnya.

"Sehat-sehat ya anak Bapak," Ujar Deskara lagi sambil mengusap perutku yang terlihat sedikit membuncit.

"Kenapa mau dipanggil itu?"

"Aku dulu panggil orang tuaku, Bapak Ibu. Aku jadinya mau aja dipanggil Bapak, terus panggilan Bapak itu kesannya kuat," Jawab Deskara sambil memperagakan gaya binaragawan yang sedang pamer otot padahal dia nggak punya otot sama sekali.

"Ayok, kita berangkat!" Ajak Deskara sambil mengambil ransel dan memakai dipundaknya lalu mengenggam tanganku.

Hangat.

*****

Karena rok yang aku pakai jadinya aku duduk menyamping di motor, jemariku menggenggam erat pinggang Deskara. Selama Deskara membawa motor, dia selalu berkendara dengan kecepatan lambat, dia tidak pernah menyelak kendaraan, dia selalu memposisikan motornya di bahu jalan kiri.

"Unna, kayanya aku harus taro tulisan di motor deh... "

Aku sedikit memajukan kepalaku ke depan, ke telinga Deskara.

"Tulisan apa? Buat apa?"

"Tulisan, maaf istri saya sedang hamil, aku capek diklaksonin terus," Gerutu Deskara.

Tenggelam Dalam Dasar [END]Where stories live. Discover now