21. Serunna : Kehilangan?

16.1K 1.3K 145
                                    

enjoy!

*******

Suara dering ponsel membangunkanku, aku terbangun pukul delapan pagi dan saat melihat nama yang tertera diponselku membuat dahiku berkerut. Adam menelponku di pagi hari adalah hal baru, karena biasanya bocah itu menelponku saat malam hari saja.

"Halo, kenapa, Dam?"

"Mbak aku bakal ke Jakarta."

"Hah? Kapan?"

Kenapa tiba-tiba sekali, aku bahkan belum memberi tahunya kalau kontrakan kami kebakaran dan harus tinggal di ruko kecil, mau tidur di mana Adam?

"Hari ini, jam sepuluh kereta berangkat."

"Ngapain ke Jakarta?"

"Liburan Mbak, sekolahku udah libur."

"Memang dibolehin Ibu?"

"Boleh, katanya gapapa temani Mbak di sana, Ayah juga nggak masalah."

Aku mengelus perutku, merasa ada pergerakan di sana. Aku merasa perasaanku terasa ringan, akankah aku mendapat maaf dari Ibu dan Ayah?

Aku rindu sekali dengan mereka, kehamilan ini pasti tidak akan terasa berat jika mereka berada di sisiku. Aku menatap ke bawah, ke arah perutku yang sudah besar lalu ke arah jemariku lalu mengusapnya, aku sadar tubuhku makin hari makin mengurus tak peduli makanan apapun yang aku makan.

Dari bulan lalu Bidan sudah menyuruhku untuk makan dengan baik dan benar untuk menaikkan berat badan dua bayi kembarku, tapi aku tidak mengerti mengapa makanan yang aku makan rasanya tidak ada yang menjadi daging.

"Nanti dijemput, ya, kabari kalau sudah mau berangkat dan mau sampai."

"Aku bisa sendiri, Mbak, naik taksi online aja nanti."

"Jangan, Dam, Mbak udah nggak tinggal di tempat yang dulu sudah pindah."

"Oh, pindah kenapa?"

"Nanti Mbak jelaskan kalau kamu di sini, kamu hati-hati ya di jalan jangan mau diajak orang nggak dikenal."

Adam tertawa di sebrang sana.

"Mbak kira aku anak kecil? Yauda Mbak aku siap-siap dulu, jaga diri ya Mbak. Aku sayang Mbak."

"Iya... "

Telepon itu mati, meninggalkan gelap di layar. Aku menoleh ke samping, ada semangkuk bubur dan juga air putih di sana dan juga potongan-potongan buah di piring kecil.

Ada suara bising yang kudengar dari bawah membuatku tau kalau Deskara sedang menjual buburnya di sana, pukul delapan pagi memang sedang ramai-ramainya.

"Unna? Udah bangun, ya?"

Deskara menghampiriku dengan peluh di dahinya.

"Ramai banget di bawah, rejekinya adek," Ujar Deskara setelah ia duduk di sampingku.

"Buburnya kayanya udah nggak panas, mau diganti nggak? Atau mau makan yang lain?"

"Nggak usah."

"Mau disuap?"

Aku menggeleng sebagai jawaban lalu langsung mengambil mangkuk dan memakannya dalam diam.

"Aku ke bawah dulu ya, nanti aku balik lagi bawain susu," Ujar Deskara seraya mengusap rambutku, sebenarnya ingin sekali aku menepisnya tapi aku tidak sanggup, karena mungkin ini bisa jadi sentuhan terakhir Deskara bukan? Tidak ada yang tau, kapan lelaki ini akan pergi dari sisiku.

Tenggelam Dalam Dasar [END]Where stories live. Discover now