22. Serunna: Sakit

14.9K 1.3K 142
                                    

Enjoy!!

******

"Masih sakit?"

Aku menoleh ke arah suster yang berkunjung lalu menggeleng lemah.

Preklampsia. Begitu kata dokter, dadaku diserang rasa sakit saat mengingatnya. Tekanan darah yang tinggi, sesak napas, dan pembengkakan yang dirasakan adalah cirinya. Diperparah lagi dengan tingkat stress yang tinggi, aku mengusap perutku saat perasaan bersalah menjeraku.

Aku telah lalai, aku membiarkan mereka kesakitan di dalam sana karena aku yang tak becus mengurus mereka. Lalu tatapanku beralih ke selang-selang yang ada di tubuhku, kata dokter aku harus rawat inap karena bayi ini akan lahir kapan saja dan di sini dokter berupaya untuk menahan agar bayi-bayiku tidak lahir sebelum waktunya.

Sakit? Sangat.

Aku mengusap perutku sekali lagi sambil merapal doa agar mereka mau bertahan lebih lama di sana, tidak apa-apa aku harus minum obat yang efek sampingnya membuat tubuhku kepanasan asalkan mereka tidak keluar sebelum waktunya. Meskipun dokter sudah menyuntik penguat paru untuk janinku sebagai upaya berjaga-jaga andai mereka harus keluar sebelum waktunya, tapi tetap saja mereka masih terlalu kecil, kata dokter berat badannya sangat kecil.

"Tekanan darahnya sudah stabil, tolong dijaga ya bu," Ujar suster sebelum ia pergi meninggalkanku sendiri.

Tubuhku memang terasa lebih ringan tidak sesakit saat tadi, meski rasanya benar-benar lemas sampai rasanya aku tidak bisa melakukan apapun selain berbaring.

Kesunyian yang melingkupiku membuat air mataku memaksa turun, bahkan dalam keadaan seperti ini aku masih mencari sosoknya dan dia tidak ada.

"Mbak, kenapa nangis lagi. Sakit lagi?"

Suara Adam disertai pintu yang terbuka membuatku tersenyum tipis meski dengan air mata yang mengalir, tanpa bisa dielak, tanpa bisa dicegah.

"Kata dokter Mbak harus dirawat dulu gapapa ya? Dokter bilang, mereka cuma bisa mencegah kelahiran prematur. Jadi Mbak sehat-sehat di sini, aku temani. Bapak sama Ibu juga bakal ke sini besok," Ujar Adam sambil mengusap air mataku dengan lembut.

Bahkan sampai sekarang aku berharap Adam menyebutkan namanya.

"Bapak sama Ibu?" Ulangku.

"Iya, Mbak... "

"Mereka mau ketemu aku?"

Adam tersenyum kecil, "Ya, kenapa enggak? Mbak anaknya tau, kecewa memang hal yang wajar Mbak. Kemarin-kemarin Bapak sama Ibu cuma perlu waktu buat menerima aja kok."

Aku tersenyum, masih ada harapan untukku memperbaiki hubungan dengan kedua orang tuaku, perasaanku sedikit berbunga dan perasaan rindu itu mencuat.

"Hm, Des—"

"—Jangan sebut nama dia Mbak, orang nggak jelas itu. Laki-laki aneh."

Aku terdiam sambil meremas selimut dengan jemariku.

"Aku nggak bolehin dia nemuin Mbak, aku tuh udah curiga waktu liat foto dia waktu itu, ternyata laki-laki nggak benar."

Tenggelam Dalam Dasar [END]Where stories live. Discover now