1.5 || Bertahanlah, Jangan Pergi!

1.3K 116 4
                                    

Semuanya masih terlelap dalam alam mimpi padahal waktu sudah menetapkan pukul tujuh pagi. Perempuan dengan nama lengkap Shanira Anindhita itu kini tengah mengendap-endap menuju keluar rumah. Dirinya tak ingin terus membebani adik-adiknya, setelah Zee, Muthe dan Christy pergi ke sekolah, Shani segera mempersiapkan diri untuk bekerja lagi. Dirinya mendengar jika Toko Sembako itu membutuhkan dirinya untuk bekerja di sana.

Secara diam-diam kini Shani sudah berada diluar rumah, dirinya berjalan cepat menuju Toko Sembako itu. Tak peduli akan seberapa marah adiknya jika tau Shani bekerja dalam keadaan sakit seperti ini.

Dirinya yakin jika dia bisa bekerja walaupun dalam keadaan sakit. Tak peduli dengan rasa pusing yang selalu menjalar di kepalanya, Shani tetaplah Shani yang keras kepala.

Shani merasa tak tega jika Gracia, Gita dan Eli yang terus membiayai kebutuhan sekolah ketiga adik bungsunya. Uang makan, bekal sekolah mereka, kebutuhan mendadak semua ditanggung Gracia, Gita dan juga Eli. Apakah mereka memiliki uang untuk diri sendiri? Tak ada yang tahu kan?

Sesampainya Shani di sana, ia langsung menghampiri pemilik Toko Sembako itu. Setelah mendapatkan pekerjaan apa yang harus ia lakukan, Shani segera mengerjakannya. Pekerjaan yang Shani lakukan adalah mengangkat banyaknya karung beras kedalam toko dari dalam mobil.

Sebetulnya Shani lelah, tetapi ini demi adik-adiknya. Punggung nya terasa sakit, tapi dia sama sekali tak peduli. Sesekali dia memegang punggung nya yang terasa sakit. "Cepetan Shan!" teriak pemilik toko sembako itu dari dalam.

"Ah iya." Shani segera mengangkat karung-karung beras itu lagi di punggungnya.

Sudah karung kelima yang Shani pindahkan dari mobil untuk masuk ke dalam toko, kepalanya terasa pusing, hidungnya sudah mengeluarkan darah segar. Pandangannya sudah kabur dan menghitam.

BRUKH!

"Astaga, Shani!"

° ° °

Tiga orang gadis SMA berlari kencang di lorong rumah sakit, mereka segera mencari ruangan dimana kakaknya. Dengan nafas yang memburu mereka terus berlari dipimpin oleh gadis yang membawa gitar. Setelah beberapa kali berkeliling akhirnya mereka menemukan dimana kakak kedua, ketiga dan keempatnya ada diluar ruangan itu.

Muthe menatap ketiga kakaknya dengan mata yang berkaca-kaca. Shani masuk rumah sakit, Gracia baru memberi kabar ketika mereka masih disekolah, dengan segera mereka bertiga keluar dari sekolah untuk menemui sang kakak yang masuk ke dalam rumah sakit. Penampilan mereka semua sudah acak-acakan, apalagi Zee, Muthe dan Christy yang sedari tadi berlari dari sekolah sampai rumah sakit. Rambut mereka bahkan sudah tak rapih lagi, keringat mengucur di dahi mereka, dan nafas mereka masih memburu.

Muthe memeluk Gita erat. "Kak Gita..." Dia menangis di sana, Gita lemah jika melihat anggota keluarganya menangis, Gita tak kuat rasanya, sekarang dirinya hanya mampu mengusap punggung Muthe yang duduk di pangkuannya.

Gracia menundukkan kepalanya sejak tadi, sesekali dirinya memukuli kepalanya sendiri. "Kak Gre," Gracia tak mendengarkan panggilan Zee, dirinya masih memukuli kepalanya, dia tak bisa menjaga Shani dengan baik, sampai-sampai sang kakak nekad bekerja dan berakhir di rumah sakit seperti ini.

Zee berlutut dihadapan Gracia yang sedang terduduk, dengan cepat dirinya mengambil tangan Gracia untuk di genggam. "Jangan, jangan kayak gitu," Zee menggenggam tangan Gracia dengan mata berkaca-kaca. "Tolong jangan lakuin itu.." Zee memeluk Gracia erat, dia tak peduli jika seragamnya basah oleh air mata Sang Kakak.

Kotak Harapan dan Kisahnya || ENDحيث تعيش القصص. اكتشف الآن