Prolog

9.3K 555 94
                                    

Happy reading

Langit Jagadita Marva hanya mampu menghela napas panjang, menatap orang-orang yang berjalan, berlalu-lalang-melalui kaca salah satu kafe di ibu kota. Terhitung lima belas menit sudah pemuda berusia 15 tahun itu terduduk di sana, menunggu seseorang yang harus di interviewnya. Benar, ia sedang menunggu seseorang yang mungkin saja akan menjadi ibu sambungnya. Namun, sudah selama ini, tetapi orang itu tak kunjung datang.

Menatap gelas berisi jus apel yang telah habis tak tersisa, Langit mengeluh dalam hati. Kenapa mencari istri untuk ayahnya sulit sekali? Bukankah seharusnya ini hal yang mudah? Ayahnya itu kaya bukan main. Tampan, iya. Walaupun duda, tetapi masih perkasa. Langit bahkan menempelkan foto ayah yang telanjang dada, memperlihatkan otot perut super seksi untuk menarik hati para wanita dan janda. Akan tetapi, kenapa dari banyaknya populasi perempuan di dunia, hanya tiga orang saja yang menghubunginya? Padahal, ia sudah mengunggah poster pencarian istri ayah di beberapa akun media sosial. Langit bahkan mengirimkannya ke biro jodoh online juga.

Kenapa Langit masih mencari padahal sudah bertemu dua kandidat? Jawabannya mudah, sebab kandidat pertama-dibandingkan ibu sambung, wanita itu lebih cocok menjadi nenek tirinya. Jelas Langit langsung menolak, sebab ia masih memiliki seorang nenek kandung walaupun tinggal di kota berbeda. Sementara kandidat ke dua-Langit menolak sebab wanita itu memiliki seorang putra.

Langit bukannya tidak mau berbagi seorang ayah, ia hanya tidak ikhlas jika ayah menyayangi anak lain selain dirinya, kecuali jika anak itu hasil dari ayah beserta ibu sambungnya, Langit jelas menerima dengan sangat lapang dada. Egois? Jelas, Langit hanya ingin merasakan bahagia di sisa-sisa hidupnya.

Kembali menghela napas, Langit menatap jam di pergelangan tangan. Pukul empat lewat lima belas menit, itu berarti hampir memasuki jam pulang ayah dari kantor. Menatap sekitar kafe yang cukup lengang, Langit memutuskan untuk pergi dari sana. Mungkin kandidat nomor tiga memutuskan tidak hadir sebab merasa kurang percaya diri. Langit harus berpikir positif, itu yang selalu ayah terapkan sedari kecil.

Mengambil topi hitam di atas meja, memakai untuk menutupi surai hitamnya. Langit mengambil tas sekolah yang berada di kursi sebelah, kemudian berlalu, keluar dari kafe tersebut. Berjalan di trotoar sembari mencari taksi yang lewat. Terlalu sibuk mencari taksi, Langit sampai tidak menyadari jika ada seorang wanita dengan rambut sebahu baru saja memasuki kafe, mencari dirinya.

Melihat satu taksi yang terlihat kosong, Langit segera melambaikan tangan, bersamaan dengan ponselnya yang berdering di saku seragam sekolah. Begitu taksi berhenti tepat di depan, Langit segera masuk, duduk, mengambil ponsel.

"Halo." Langit menjawab panggilan tersebut, setelah menutup pintu mobil. Kemudian meminta supir taksi untuk pergi ke alamat rumahnya.

"Kamu mau apa? Mumpung Ayah baru mau jalan pulang."

Mendengar suara ayah, Langit tersenyum senang. Suara berat ayah selalu mampu menghangatkan hatinya. Lalu dengan begitu saja ia berkata, "Mau bunda." Yang mana membuat ayah terdiam di seberang sana.

Setelahnya lengang, hanya terdengar embusan napas dari seberang.

"Langit, kamu tahu kan kalau Ay-"

"Iya, tahu ... Langit mau pizza saja." Langit memanyunkan bibirnya beberapa senti. Hal biasa yang selalu ia lakukan setiap kali mendengar penolakan dari ayah.

"No, no ... jangan pizza. Kamu tahu sendiri kan ngga boleh makan junk food."

"Sekali saja Ayah, kali ini, plis ...."

"Ngga. Ayah belikan buah beri saja seperti biasa, ya. Tunggu di rumah dan jangan ke mana-mana."

Langit hanya mencebik kesal menatap layar ponselnya yang kembali menampilkan foto seorang wanita berambut panjang, memakai gaun putih dengan tangan memegang perutnya yang terlihat besar, sebab ayah mematikan sambungan secara sepihak.

Langit Bercerita (End)Where stories live. Discover now