12

2K 206 23
                                    

Happy reading

Seorang wanita menatap langit malam yang terlihat cukup cerah, memandangi rembulan—tampak indah dengan bintang di sekelilingnya. Tidak banyak, tetapi cukup untuk memanjakan mata. Belum lagi semilir angin malam yang menyejukkan, menerbangkan rambut kecokelatannya, membuat hati yang tadinya keruh menjadi sedikit lebih tenang.

Menatap jam di pergelangan tangan, wanita itu mengembuskan napas perlahan. Sudah sekitar lima belas menit ia berdiri di halte, menunggu seseorang datang untuk menjemput. Namun, orang yang berkata akan menjemputnya itu tak kunjung datang. Kalau saja mobil yang dikendarainya tidak mogok tiba-tiba, ia tidak mau menunggu berlama-lama di sini sendirian.

Kembali mengecek jam di pergelangan tangan, wanita itu berkacak pinggang. Sudah hampir pukul sembilan malam dan ia masih berada di jalan. Belum lagi perjalanan yang harus ia tempuh masih tersisa setengah lagi.

Tak ingin terlambat, wanita tersebut membuka ponsel. Ia memutuskan untuk memesan taksi online, sebab jika sudah malam, taksi sangat jarang melewati daerah ini. Namun, baru saja hendak memesan, tiba-tiba saja sebuah mobil hitam berhenti di hadapannya.

Merasa was-was, wanita itu menunduk, hendak berjalan sedikit menjauh. Akan tetapi, begitu mendengar orang yang di dalam mobil memanggilnya, "Dokter Megan?" Wanita tersebut segera mendongak, kemudian mengembuskan napas lega melihat siapa yang memanggilnya.

Itu ayah dari pasien nakalnya Dokter Cahya—Langit. Megan tidak mungkin lupa. Sebab sudah hampir satu Minggu ini ia selalu bertemu dengan ayah Langit di malam hari setiap kali pergi memeriksa.

"Sedang apa di sini?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, Dokter Megan menunjuk mobil yang tak jauh dari tempatnya berdiri, membuat Jagad yang masih berada di dalam mobil menyembulkan kepala dari jendela, menatap arah tunjuk Dokter Megan.

"Mobil saya mogok, sedang menunggu jemputan."

Jagad hanya menganggukkan kepala, menatap jam di pergelangan tangan.

"Bagaimana jika berangkat dengan saya? Kebetulan juga arah tujuan kita sama. Anda harus ke rumah sakit, bukan?"

Dokter Megan terdiam, menimbang. Setelah beberapa detik barulah ia menganggukkan kepala. Tidak ada salahnya pergi bersama ayah Langit, toh ia juga harus cepat sampai di rumah sakit. Sebab pergantian shift akan dimulai sebentar lagi.

Tak ingin berlama-lama yang justru hanya akan membuat terlambat, Dokter Megan segera berjalan memutari mobil. Begitu tangannya terulur hendak membuka, pintu mobil sudah lebih dulu dibuka oleh Jagad dari dalam.

Dokter Megan yang terkejut terdiam sesaat, mengerjapkan mata. Kemudian masuk setelah mengucapkan terima kasih. Jagad hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Tidak ada percakapan penting selama perjalanan. Hanya sesekali Jagad menanyakan perihal kondisi Langit untuk memecah keheningan, ia bahkan menebalkan wajah untuk bertanya mengenai tawaran Langit untuk menikah waktu itu, dan seperti yang Langit duga—Dokter Megan hanya menganggap itu sebagai candaan saja. Jagad akhirnya bisa mengembuskan napas lega, sebab tak perlu lagi merasa malu jika bertemu dengan Dokter Megan. Hingga selang beberapa menit kemudian, mereka akhirnya sampai. Jagad segera keluar dari mobil, disusul Dokter Megan.

"Terima kasih atas tumpangannya ayah Langit," ucap dokter Megan, menatap Jagad.

Jagad mengangguk. "Sama-sama."

"Kalau begitu saya permisi." Dokter Megan berbalik hendak melangkah. Namun, mendengar seruan Jagad langkah dokter Megan seketika terhenti, menoleh.

"Jagad, panggil saja Jagad."

Langit Bercerita (End)Where stories live. Discover now