18

1.6K 196 23
                                    

Happy reading


Malam itu, Jagad hanya mampu mengembuskan napas panjang menatap Langit yang sedang terduduk di atas ranjang dengan selimut membungkus tubuhnya. Wajah anak itu merona, belum lagi hidung yang memerah—terlihat sangat memprihatinkan.

Tadi, tepatnya ketika Jagad baru saja sampai di kantor setelah dari restoran, anak itu sudah berada di ruangannya dengan kepala dan jaket yang terlihat basah di bagian bahunya, mungkin terkena tetesan air hujan. Namun, bukannya segera pulang untuk mengganti pakaian yang lebih hangat, Langit justru berdiam diri duduk di sofa sembari memainkan rubik. Sesekali bersin membuat Jagad yang sedang memeriksa berkas tak bisa berkonsentrasi.

Lalu seperti inilah akhirnya, Langit terserang demam. Beruntung, anak itu mulai menggigil setelah makan malam selesai, atau justru lebih tepatnya sudah tidak bisa menahan diri lagi dari panasnya suhu badan.

Meletakkan gelas berisi air hangat serta beberapa obat yang harus Langit minum di atas nakas, Jagad duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur menarik laci bagian bawah, mengambil satu plester kompres dan memakaikannya di dahi sang anak.

"Aku ngga apa-apa, Ayah." Langit berkata pelan dengan suara yang terdengar sengau. Menatap takut Jagad yang sedari tadi hanya diam. Bahkan ketika makan malam pun, Jagad tak banyak bicara seolah tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

"Ayah?" Langit kembali memanggil. Tangannya yang terbungkus selimut menggosok hidungnya, terasa gatal dan berair.

Jagad masih diam, memberikan obat yang harus Langit minum dan menambahkan obat lain yang sudah diresepkan oleh Dokter Cahya setiap kali Langit mengalami demam. Langit hanya menerima tanpa penolakan, meminumnya cepat dengan bantuan air hangat.

Mengembuskan napas pelan, Jagad menahan diri untuk tidak terkekeh menatap Langit yang mirip seperti ikan buntal. Apalagi mata anak itu terlihat semakin berkaca-kaca, efek bersin yang tak berkesudahan sejak tadi dan baru mulai reda sekarang.

"Ayah jangan diam saja."

Alih-alih membalas, Jagad justru bertanya, "Pusing?" yang mana langsung dijawab dengan anggukan kepala.

"Kalau begitu kita ke rumah sakit."

Mendengar itu, jelas Langit menggeleng ribut. "Ngga mau, Ayah. Ngga perlu ke rumah sakit. Lagi pula minggu depan juga kita akan ke sana."

"Lalu apa masalahnya? Dipercepat lebih baik."

Langit kembali menggeleng, mengeratkan selimutnya.

"Kemarin saja ngga mau pulang dari rumah sakit, kenapa sekarang ngga mau ke sana lagi?"

Langit bergeming, tak menjawab pertanyaan Jagad. Hingga hidungnya terasa gatal dan kembali bersin membuat lendir berwarna bening turun dari kedua lubang hidungnya.

Jagad yang melihat itu langsung mengambil tisu di atas nakas, membersihkan ingus Langit tanpa merasa jijik.

"Sayang sekali ...." Jagad menaruh tisunya di atas nakas. "Sebenarnya Ayah ingin mengajak kamu keluar dan menghabiskan waktu libur bersama nanti besok. Tapi, sepertinya ngga jadi."

Mata Langit yang tadinya sempat berbinar langsung melotot tak terima. "Kenapa ngga jadi?"

"Kamu sakit, Langit. Lebih baik Ayah bermalas-malasan di rumah menjaga kamu."

Langit yang mendengarnya jelas merengek tak terima. Namun, Jagad tetaplah Jagad. Manusia yang cukup keras kepala. Mau dibujuk seperti apa pun duda anak satu itu tak akan mudah luluh.

Bahkan ketika melihat Langit yang mulai membuka selimut, berusaha memperlihatkan bahwa dirinya sudah sembuh pun Jagad hanya berkata, "Tidur. Besok kalau demamnya belum turun kita ke rumah sakit." Seraya mendorong pelan kedua bahu Langit hingga terlentang dan menutupi seluruh tubuh anak itu menggunakan selimut, menyisakan kepalanya saja.

Langit Bercerita (End)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu