20

1.8K 195 48
                                    

Happy reading



Sekitar pukul setengah enam pagi Langit sudah rapi, memakai celana jeans serta kaus hitam, dibalut jaket dengan warna serupa. Seperti rencana Langit kemarin, ia akan menemui Dokter Megan pagi ini, untuk menanyakan siapa pria menyebalkan yang menunggunya kemarin, dan apa hubungan mereka.

Menyambar tas yang berada di atas meja, Langit segera keluar dari kamar. Menutup pintu, melangkahkan kaki menuruni anak tangga menuju dapur.

Pagi ini udara cukup dingin, mungkin karena hujan turun semalaman. Beruntung, hujan berhenti tepat di jam lima pagi sehingga Jagad tidak akan melarang Langit untuk keluar rumah hari ini.

Begitu tiba di dapur, seperti biasanya Langit akan disuguhkan pemandangan Jagad yang memakai kemeja kantor dengan lengan digulung sebatas siku, dibalut apron berwarna biru yang sebenarnya tidak terlalu berfungsi juga sebab duda anak satu itu hanya membuat oatmeal serta roti bakar untuk sarapan.

Meletakkan tas di samping kursi yang diduduki, Langit menatap sang ayah yang sedang menuangkan air panas ke dalam gelas berisi susu seraya menopang dagu.

Kalau dipikir-pikir, Langit cukup bosan melihat pemandangan ini setiap pagi. Pun dengan sarapan yang dibuat oleh sang ayah. Namun, mengingat bahwa Jagad rela bangun lebih pagi untuk membuat sarapan, Langit hanya bisa menelan kebosanan itu tanpa menyuarakan. Ya, sudah seharusnya ia bersyukur karena Jagad mau direpotkan oleh anak berpenyakitan seperti dirinya.

Sementara Jagad yang saat ini berbalik setelah selesai mengaduk susu cukup terkejut mendapati Langit sudah duduk di kursi. Melihat Langit yang sudah rapi seperti ini membuat lipatan di dahi Jagad tercetak jelas. Ia bertanya-tanya, sejak kapan anak itu duduk di sana? Dan apakah matahari terbit dari Barat? Tumben sekali anaknya itu sudah rapi di pagi buta. Biasanya jangankan mandi, Langit bahkan masih menyelami mimpi jika tak dibangunkan di hari libur seperti ini.

"Tumben ...," Jagad bergumam pelan, melipat apron—meletakkannya di meja, lantas membawa piring serta mangkuk, meletakkannya di hadapan sang anak, "Ayah pikir belajar bersamanya nanti siang," sambung Jagad seraya duduk setelah meletakkan gelas berisi air putih di hadapan Langit yang sudah mulai makan.

Langit hanya mengangguk, menyendok oatmeal dan memakannya. Memang benar, hari ini Langit akan belajar bersama si kembar di rumah Raihan. Sebenarnya, Langit hanya meminta Raihan untuk mengajari beberapa materi yang terlewat diakibatkan absen ketika sakit dulu. Namun, karena Jimmy ingin ikut, jadi mereka memutuskan untuk belajar bersama.

"Aku mau mengembalikan Tumbler Dokter Mama lebih dulu." Langit berkata setelah menelan oatmeal-nya, membuat Jagad yang sedang memakan roti selai cokelat berhenti.

"Jangan terlalu sering ke sana," ucap Jagad, kembali memakan rotinya.

Langit mengernyitkan dahi. "Kenapa?"

"Dokter Megan sedang bekerja. Kalau kamu sering ke sana, nanti dia ngga bisa fokus bekerja. Dia juga bisa kena tegur atasannya."

Langit menganggukkan kepala. "Tapi, kan aku hanya melihat saja, Ayah. Ngga mengganggu. Kita hanya berbicara sekitar sepuluh sampai lima belas menit, setelah itu aku pulang."

Mendengar perkataan Langit, Jagad yang sedang mengunyah roti sontak berhenti. Ini tidak seperti yang dipikirkan. Jagad pikir anak itu setiap hari pergi ke sana, berjam-jam di sana itu mengobrol lama. Akan tetapi, apa ini? Hanya sepuluh menit? Benar-benar di luar perkiraan.

"Kalau begitu kenapa ngga lewat telepon saja? Kenapa harus menemuinya?"

"Kalau hanya lewat telepon percuma, Ayah. Aku akan tetap merasa rindu. Seperti kata orang-orang, obat rindu itu hanya bertemu. Jadi lebih baik menemuinya, kan?"

Langit Bercerita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang