30

1.5K 211 60
                                    

Happy reading


Langit mengembuskan napas panjang, mengeratkan jaket tebal yang membungkus tubuhnya, menatap langit malam yang dihiasi rintik gerimis. Namun, mampu membuat tubuh basah kuyup jika terlalu lama berada di bawahnya.

Kini Langit sedang duduk di depan pintu rumah, bersama mang Asep yang duduk di sebelahnya dengan segelas kopi hangat yang sudah mulai dingin.

Sudah tiga puluh menit lamanya Langit duduk di sana, menunggu Jagad yang katanya sedang dalam perjalanan pulang.

"Mang Asep pulang saja, enggak apa-apa. Aku bisa menunggu Ayah sendirian. Belanjaan Ayah enggak banyak, jadi sebentar lagi pasti sampai." Langit melirik mang Asep, suaranya sedikit sengau sebab terlalu lama terkena udara dingin.

"Aduh, Mamang teh khawatir kalau ninggalin Aden sendirian. Sudahlah, Mamang temenin saja. Takut kalau Aden kambuh, terus di rumah sendirian, kan nanti enggak ada yang nolongin."

Langit mendengus, kembali mengeratkan jaketnya. Udara malam ini terasa lebih dingin daripada biasanya.

"Aden masuk saja ke rumah, di sini dingin. Nanti sakit lagi, loh."

"Kalau aku masuk, nanti Mang Asep sendirian."

Mang Asep terkekeh pelan. "Enggak apa-apa atuh, Den. Kan kalau Aden sekolah, Bapak ke kantor juga Mamang mah sendirian di sini."

Langit tersenyum, mengangguk. Tak lama berdiri. Namun, baru saja hendak melangkah ke dalam. Suara klakson mobil di depan gerbang terdengar, lalu masuk dan berhenti tepat di depan teras rumah.

Melihat kedatangan mobil sang ayah, Langit tersenyum senang segera berjalan mendekat. Mang Asep berdiri, mengangkat segelas kopinya yang sudah dingin.

"Ayah!" seru Langit, berdiri di ujung lantai. Langit pikir, ayahnya keluar lalu mengitari mobil hendak mengambil barang belanjaan di bagasi. Namun, melihat pintu samping kemudi dibuka, senyum Langit seketika luntur, digantikan wajah khawatir.

Di sana, ada Dokter Megan yang memejamkan mata. Wajahnya pucat pasi. Merasa khawatir, Langit hendak mendekat jika saja sang ayah tak berkata, "Diam di sana, Langit. Hujan. Nanti kamu demam."

Mang Asep yang peka segera meletakkan segelas kopinya di sudut teras, menghampiri Jagad. Begitu Jagad hendak menggendong Dokter Megan ala bridal style, mang Asep menahan pintu mobil agar memudahkan sang majikan.

"Mang, minta tolong parkirkan mobilnya, ya." Jagad memperbaiki gendongannya.

"Iya, Pak."

Setelah itu, Jagad segera berjalan memasuki rumah setelah Langit membuka pintu lebar-lebar. Menutup pintu dengan cepat, Langit mengikuti langkah Jagad menuju kamar tamu.

"Apa yang terjadi dengan Dokter Mama? Apa dia pingsan? Ayah melakukan apa kepada Dokter Mama? Ayah, aku memang menyukai Dokter Mama, tapi aku enggak mau mempunyai adik secepat ini."

Langkah Jagad sontak terhenti di depan pintu kamar tamu, membuat Langit yang sedari tadi mengikutinya di belakang berakhir menabrak punggungnya. Langit mendengus, mengelus kening. Sementara Jagad kini sudah beralih, menatap tajam Langit.

"Apa yang kamu pikirkan, Langit? Ayah enggak ngapa-ngapain. Buka pintunya." Jagad menunjuk pintu menggunakan dagu.

Langit mengangguk, membukanya dengan lebar. Setelah Jagad masuk dan meletakkan Dokter Megan di atas ranjang, Langit ikut mendekat.

"Dokter Mama kenapa?" Langit menatap sang ayah dengan tatapan menuntut penjelasan, terpancar kekhawatiran di kedua matanya.

Jagad mengembuskan napas panjang, menyugar rambutnya yang basah. "Dia baik-baik saja. Ayah bertemu dengannya di supermarket, dia pingsan. Jadi Ayah bawa pulang karena hanya tahu alamat apartemennya." Jagad menjawab, sedikit dibumbui kebohongan.

Langit Bercerita (End)Where stories live. Discover now