8

2.8K 257 34
                                    

Happy reading



Raihan menggerutu sepanjang jalan, dari kantin rumah sakit menuju ruangan Dokter Cahya. Tadi, ketika ia hendak masuk dan ingin mendengarkan kondisi Langit, papanya itu justru menyuruh untuk membelikan kopi. Tak ingin menjadi anak durhaka yang dikutuk menjadi ikan pari, Raihan tak ada pilihan lain selain mengiakan. Apalagi ketika melihat lirikan sang papa, seperti sedang mengancam akan memotong uang jajannya.

Menatap satu paper cup kopi di tangan kanan, Raihan mengembuskan napas perlahan. Jika mama tahu, habislah papa. Mama selalu mewanti-wanti papa untuk mengurangi kafein, tetapi papanya itu bandel sekali. Kalau saja ponsel Raihan tidak ketinggalan, Raihan pasti akan mengambil foto dan mengirimkannya pada mama. Sebab tidak ada yang papa takuti selain mama dan Tuhan tentunya.

Mengalihkan pandangan ke depan, Raihan tak sadar jika ruangan papa sudah terlihat di depan mata. Begitu tiba, ia langsung memegang kenop pintu, hendak masuk. Namun, mendengar perkataan papa, Raihan tidak jadi membukanya keseluruhan. Ia hanya membuka sedikit, menciptakan celah agar suara bisa didengar.

"Tekanan darahnya naik, itu membuat jantung Langit harus bekerja lebih keras daripada biasanya, sehingga dia merasakan sakit di bagian dada, sesak napas, dan bahkan sampai pingsan. Dugaan sementara Langit mengalami stress dan kelelahan. Kamu tahu kan, Gad? Langit tidak boleh banyak pikiran."

Bisa Raihan lihat, ayah Langit mengusap wajahnya kasar. Duda anak satu itu terlihat frustrasi dan lelah.

"Tenang, Langit sudah baik-baik saja. Dia bahkan sempat sadar saat di ruang UGD tadi."

"Bagaimana untuk ke depannya? Apa dia akan tetap baik-baik saja?"

"Kita akan meninjau lebih lanjut. Jika obat yang Langit konsumsi masih berfungsi dengan baik pada tubuhnya, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, jika obat-obatan itu sudah tidak berfungsi dengan baik pada Langit. Maka tidak ada pilihan lain, kita harus melakukan ablasi."

Melihat ayah Langit yang tampak lebih frustrasi setelah mendengar penjelasan sang papa, Raihan menunduk dalam, ia tahu itu bukan sesuatu yang baik. Hingga ketika sibuk menatap paper cup di tangan kanan, Raihan tersentak begitu sang papa berkata, "Sepertinya kita sudahi dulu pembicaraan ini. Temui Langit, dia pasti menunggu ayahnya. Saya juga harus meminum kopi sebelum kopinya dingin."

Meneguk ludah kasar, Raihan akhirnya membuka pintu semakin lebar. Bisa ia lihat, papanya tersenyum begitu juga dengan ayah Langit yang menoleh ke arahnya. Lalu dengan begitu saja ia berjalan mendekat, memberikan paper cup berisi kopi milik sang papa.

"Terima kasih, Rai."

Raihan hanya mengangguk, menjawab ucapan sang papa. Lalu menatap Jagad yang mulai berpamitan dan keluar dari ruangan. Menatap pintu yang sudah ditutup kembali oleh ayah Langit, Raihan menoleh ke arah sang papa.

"Bagaimana bisa Om Jagad memanggil Papa, dengan sebutan 'Bang'? Bukannya dokter." Raihan bertanya, begitu mengingat ayah dari Langit itu memanggil sang papa dengan sebutan Abang.

Raihan memang berteman dengan Langit sejak masih SMP, tetapi ia belum pernah melihat interaksi antara Jagad dan sang papa secara langsung. Sebab setiap kali menjenguk, Jagad akan menitipkan Langit lalu pergi menemui papa di ruangannya. Atau ketika ia bermain ke rumah Langit, Jagad pasti akan menanyakan kabar papa. Begitu pula sebaliknya. Belum lagi, Jagad selalu bertanya dengan kalimat "Bagaimana kabar papamu, Rai?" Jelas, Raihan tidak pernah mengira jika keduanya ternyata sangat akrab.

Raihan mengira bahwa itu hanyalah sekedar basa-basi karena papa adalah dokter yang menangani kondisi Langit selama ini. Apalagi, papanya itu sangat sibuk di rumah sakit, begitu pula dengan Jagad yang sibuk di kantornya.

Langit Bercerita (End)Where stories live. Discover now