15

1.9K 197 26
                                    

Happy reading



Langit mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di meja sembari menatap jam yang tertempel di dinding kelas. Waktu pulang sekolah hanya tinggal satu menit lagi, tetapi rasanya lama sekali. Hingga selang berpuluh-puluh detik kemudian, Langit mulai menghitung dalam hati ketika jarum panjang mulai bergeser di angka delapan.

Lima ....

Empat ....

Tiga ....

Dua ....

Satu, yes! Langit bersorak dalam hati bertepatan dengan suara bel sekolah, pertanda jam pelajaran terakhir berakhir menandakan pulang sekolah.

Tanpa berlama-lama lagi, Langit segera memasukkan beberapa buku serta pulpen ke dalam tas. Berjalan cepat keluar dari kelas, tak menghiraukan panggilan Raihan yang meneriakinya terus-menerus.

Menuruni anak tangga sekolah dengan cepat, Langit juga tak menghiraukan Yara yang memanggilnya dari arah lapangan. Sampai akhirnya Langit sampai di depan sekolah, ia segera memasuki taksi yang sudah dipesan sekitar lima belas menit lalu. Tak lama taksi yang Langit tumpangi melesat, meninggalkan area sekolah.

Beberapa menit kemudian, taksi yang ditumpangi Langit berhenti di salah satu rumah sakit ibu kota, bertepatan dengan suara sirine ambulan yang mendekat.

Langit keluar dari taksi setelah mengatakan terima kasih, membawa satu kantung plastik berisi susu pisang untuk dokter mamanya yang ia beli tadi di perjalanan.

Menatap mobil ambulan yang terparkir di depan ruang IGD, Langit menghela napas panjang. Ini seperti melihat kilas balik dirinya sendiri. Tak ingin mengingat perasaan takut setiap kali memasuki ambulan, Langit memutuskan untuk berjalan santai menuju teras rumah sakit—bertepatan dengan mobil ambulan yang dibuka.

Awalnya Langit ingin melangkah masuk menuju resepsionis dan bertanya di mana Dokter Megan berada, tetapi melihat siapa yang tiba-tiba saja datang dan ikut mendorong brankar yang dibawa petugas ambulan di lorong kanan, Langit menghentikan langkahnya, tersenyum. Itu Dokter Megan, terlihat sedang menanyakan keadaan pasien kepada petugas medis.

Begitu brankar yang didorong memasuki ruang IGD, Langit segera membelokkan langkahnya ke arah kanan. Ia memutuskan untuk menunggu Dokter Megan di salah satu kursi yang letaknya tak jauh dari ruangan tersebut.

Tiga puluh menit berlalu, tidak ada tanda-tanda Dokter Megan akan keluar. Ketika Langit hendak berdiri, terdengar lagi suara brankar yang didorong memasuki ruang UGD. Tidak hanya satu melainkan dua. Melihat itu Langit mengembuskan napas panjang dan duduk kembali. Ia memutuskan untuk menunggu beberapa menit lagi.

Satu setengah jam berlalu, Langit mulai menggaruk kepalanya yang gatal karena keringat. Mengembuskan napas lelah, Langit memutuskan untuk beranjak dan mengintip di balik kaca yang berada di pintu ruangan.

Bisa ia lihat, Dokter Megan saat ini tengah berbicara dengan salah satu dokter yang lebih tua—mungkin itu seniornya. Langit tidak mengerti detailnya, tetapi mendengar Dokter Megan yang ingin mengambil spesialisasi di tahun depan. Sepertinya itu dokter yang akan membimbingnya? Entahlah, yang jelas Langit harus segera pulang karena nenek serta ayah sudah mulai mengiriminya pesan dan hari sudah gelap.

Kembali mengembuskan napas panjang, sedikit memanyunkan bibirnya, Langit memutuskan berbalik—melangkah, berjalan menuju resepsionis untuk menitipkan susu pisangnya.

Begitu sampai, Langit langsung ditanya oleh perempuan, petugas di sana. "Ada yang bisa dibantu, Dek?"

Langit mengangguk pelan, mengangkat kantung plastik berisi susu pisang. "Aku mau menitipkan ini untuk Dokter Mama, Ka. Boleh?"

Langit Bercerita (End)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt