34

1.5K 212 35
                                    

Happy reading



Sekitar pukul setengah enam sore, Dokter Megan menyiapkan makan malam. Sesekali melihat ke arah sofa di mana mamanya sedang berbicara dengan Langit. Melihat keduanya tampak akrab, Dokter Megan jadi bertanya-tanya, sejak kapan mereka saling kenal? Dan apa tadi? Eyang putri? Calon cucu? Dokter Megan hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali mengingatnya.

"Jika kau menikah dengan ayahnya Langit, aku akan menjadi orang yang mendukung paling depan."

Dimas yang sedari tadi duduk di kursi, memakan kue tiba-tiba menyeletuk. Tak lama mengaduh sebab Dokter Megan memukul kepalanya menggunakan centong nasi.

"Hey! Kau ingin sepupumu ini terkena gegar otak, ya?" Dimas melotot tak terima, tangannya masih memegang kue cokelat yang sedang dimakan—kue yang mama Dokter Megan bawa.

"Centong nasi enggak akan bikin kamu gegar otak, Dimas. Jadi enggak perlu lebay."

Dimas mendengus, tatapannya beralih ke arah Langit yang rambutnya sedang dikuncir oleh mama dari Dokter Megan.

"Jangan melihatnya seperti itu, kau bisa melubangi tubuhnya." Dokter Megan melirik sekilas, lalu kembali memotong kangkung yang akan ia masak.

"Ini demi kelangsungan hidup keluarga kita. Kau enggak dengar, ya? Dia cucu seorang George Harry. Menikahlah dengan ayahnya agar aku bisa mengajukan kerja sama. Ini akan sangat menguntungkan untuk perusahaan keluarga kita."

Mendengar itu, Dokter Megan seketika berbalik sembari menodongkan pisaunya. "Jika kau berbicara seperti itu lagi maka bersiap-siap lah pisau ini akan menancap di dahimu!"

Dimas menyugar rambutnya, berdeham pelan. "Sadis sekali," gumam Dimas.

"Jangan menyangkut-pautkan Langit ke dalam bisnismu, dia masih di bawah umur. Mungkin saat kau seumurannya ayahmu memberikan les bisnis di hari libur. Tapi Langit berbeda, ayahnya menjauhkan itu semua. Mereka hanya fokus ke kesehatannya. Jangankan memikirkan soal perusahaan, mendapati jantungnya masih berdetak normal di pagi hari saja sudah seperti sebuah keajaiban." Dokter Megan terus mengomel seraya mencuci kangkung di wastafel.

Dimas berdeham beberapa kali. "Ya, ya. Aku kan hanya bercanda. Kau ini sudah seperti ibunya saja."

Mendengar gumaman Dimas, gerakan Dokter Megan yang hendak memotong bawang merah terhenti. Benar juga, kenapa dirinya sangat sentimental? Padahal ia tahu betul tabiat Dimas yang suka berbicara asal kepadanya. Namun, memikirkan Langit yang akan dimanfaatkan oleh orang-orang di sekitarnya berhasil membuat ia kesal. Ada apa dengannya?

Menggelengkan kepala, tak ingin memikirkan hal itu. Dokter Megan kembali memotong-motong bawang merah. Tak menghiraukan Dimas yang sekarang sedang beradu mulut dengan Langit. Mereka terlihat sangat serasi seperti keponakan dan om yang sudah lama tak bertemu kembali.

Sekitar satu setengah jam berlalu, makan malam telah siap. Langit dengan semangat menuju ke mini bar, duduk di samping Dimas. Anak itu sudah mandi, seragamnya pun sudah diganti dengan kaus hitam kebesaran milik Dimas, dan Langit baru mengetahui jika tetangga samping kanan unit apartemen Dokter Megan adalah pria tua itu, yang Langit baru ketahui juga jika keduanya bukan hanya seorang teman melainkan sepupu.

Kunciran pada rambutnya juga belum dilepas hingga sekarang. Sementara mama Dokter Megan mulai membuka magic com. Dahinya mengernyit tatkala melihat nasi merah di sana.

"Kamu memasak nasi merah, Megan? Tumben sekali."

Dokter Megan yang sedang mencuci tangannya tak langsung menjawab. Ia melirik ke arah Langit yang sedang berbicara serius dengan Dimas. Entah apa yang anak itu dengarkan hingga membuat dahinya berlipat-lipat.

Langit Bercerita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang