8

4.8K 466 14
                                    

8

Malam hari, terutama di malam akhir pekan, adalah waktu di mana Ibu, Bapak, dan adik-adiknya berkumpul di ruang tengah. Televisi akan menyala dan sebuah siaran televisi berlangsung. Terkadang, Trey dan Kalila akan berebut remote jika tontonan yang mereka inginkan berbeda, lalu Bapak akan menegur mereka yang tak bisa diam. Adam akan berbaring di atas karpet berbulu dan seperti biasanya membawa buku PR yang bisa dia kerjakan sambil menikmati suasana rumah yang tidak ramai, tetapi tidak juga sepi itu.

Momen-momen itu sepertinya akan sedikit berbeda mulai malam ini karena salah satu adik Adam yang selama ini tinggal di rumah Paman dan Bibi akhirnya kembali pulang dan akan tinggal untuk seterusnya. Suasana juga terlihat berbeda dari biasanya. Kalila sejak tadi terus berada di dekat Jiro sementara Trey seolah-olah tidak ada dalam hidup Kalila.

Adik laki-laki Adam yang paling bungsu itu terus-terusan menatap Kalila dan Jiro sambil bersedekap. Dia terlihat kesal sepertinya karena teman bertengkarnya direbut oleh orang baru. Adam tersenyum kecil di balik buku tugasnya. Mereka terlihat lucu jika bertengkar untuk sesuatu yang sepele.

"Woi, dengerin gue nggak, sih? Main ular tangga!" seru Trey pada Kalila yang pura-pura tuli.

"Kok gue gue. Aku," tegur Bapak sambil menatap Trey. Trey langsung berbaring di sofa panjang yang dia kuasai, lalu menutupi wajahnya dengan bantal. Dia menjauhkan sedikit bantal dari wajahnya dan satu matanya menatap ke arah Kalila dan Jiro secara diam-diam.

"Kak, coba lihat! Ini gambar yang aku buat kemarin, terus dapat nilai 90 dari guru seni!" Kalila naik ke atas sofa tepat di samping Jiro sambil memperlihatkan buku gambarnya. Beberapa saat lalu dia menghilang. Ternyata tadi dia pergi ke kamarnya untuk mengambil buku gambarnya. Kalila juga sudah memperlihatkan kepada Adam hasil gambar adiknya itu. Antusias Kalila sama saat memperlihatkan gambar kepadanya dan kepada Jiro.

Jiro memiringkan tubuh untuk menghadap Kalila di sampingnya. "Lo mau jadi pelukis?"

"Jiro," tegur Bapak sambil menatap Jiro. "Kamu dan Trey sama aja, ya."

"BEDA!" seru Trey sambil duduk. "Enak aja aku disamain sama Kak Jiro."

"Iya, beda!" seru Kalila sambil menatap Trey. "Kamu dan Kak Jiro tuh jauuuh beda."

"Sini lo. Main ular tangga!"

"Dih, maksa. Nggak mau."

Ah, mereka bertengkar lagi. Adam menatap Trey dan Kalila yang berisik, tetapi mereka lah yang semakin meramaikan rumah.

Jiro memandang dua anak itu. "Mau main berempat?"

"AYO!"

"NGGAK!"

Kalila menjawab bersamaan. Trey langsung menatap Kalila kesal. "Lo takut ya main berdua sama gue? Takut kalah sendiri, kan?"

"Udah. Udah berantemnya." Adam mengangkat tangannya. "Setuju. Main ular tangga berempat kayaknya seru. Kapan lagi?"

Kalila berlari mengambil permainan ular tangga. Adam segera duduk di atas ubin lantai yang dingin dan terlihat bersih. Trey, meski dia hanya ingin bermain dengan Kalila, tetapi dia yang lebih duluan mengambil tempat dibanding Jiro. Jiro baru ikut duduk di lantai saat melihat Kalila datang membawa kertas ular tangga beserta dadu dan ember dadu.

Mereka berempat akhirnya berkumpul dan mulai bermain. Bapak dan Ibu sedang duduk di sofa. Bapak fokus dengan tontonannya sementara Ibu melihat keseruan anak-anaknya yang sedang bermain.

Trey terlihat berusaha memisahkan Kalila dan Jiro dengan mengambil tempat yang berhadapan dengan Adam. Namun, Trey tidak berhasil memisahkan mereka karena Kalila meminta bertukar tempat dengan Adam. Adam tidak bisa menolak keinginan adiknya itu dan alhasil membuat Trey kesal di sepanjang permainan dan berusaha menjatuhkan Jiro.

Namun, dewi keburuntungan ada di pihak Jiro. Sementara Trey selalu berakhir jatuh karena ular.

"Ck. Males banget." Trey meremas rambutnya, lalu menunjuk Jiro. "Lo pasti udah sabotase dadunya, ya?"

"Emang ada kayak gitu? Lo-nya aja yang sial terus!" balas Kalila.

"Emang gue ngomong sama lo?"

Ah, lagi-lagi.... Adam menghela napas melihat kelakuan duan anak itu. "Kalian berhenti, dong. Lo juga Trey, lebih sopan sama Jiro. Dia itu kakak lo," kata Adam, sedikit berbisik.

Trey langsung terdiam, lalu dia berdiri dan berjalan menuju kamarnya dan menutup pintunya.

Adam menghela napas panjang. Trey sudah kelas di tahun terakhirnya di SMP, tetapi sifat kekanakannya seperti anak SD.

"Kalila. Simpan mainannya terus tidur." Adam berdiri. Dia menatap Jiro yang masih duduk. "Lo ikut gue."

Jiro langsung menurut tanpa bertanya apa pun. Adam menuju halaman samping. Dia berdiri di atas rumput yang basah. Beberapa saat lalu memang hujan, tetapi hanya sebentar. Dipandanginya Jiro yang berdiri di sampingnya tanpa mengatakan apa pun.

"Apa lo tersinggung karena sikap Trey yang kayak gitu?" tanya Adam, menatap Jiro yang sedang tertawa kecil karena pertanyaannya barusan.

"Ngapain gue harus tersinggung sama bocah?" tanyanya, heran. "Memang sikap dasarnya yang kekanakan. Jadi, ya, gue tahu Trey kayak gimana walaupun waktu yang gue habiskan bareng Trey nggak sebanyak lo maupun Kalila."

Adam menunduk. Dia merasa ada jarak yang tercipta di antara dirinya dengan Jiro. Kecanggungan yang dia rasakan sekarang akan menghilang dengan sendirinya. Baik dirinya, Kalila, maupun Trey. Semuanya butuh adaptasi. Setiap dari mereka memiliki waktu adaptasi yang berbeda-beda. Kalila sudah beradaptasi dengan cepat. Beda lagi dengan Trey. Adam pun demikian, masih dalam proses adaptasi. Paling tidak, beberapa hari lagi dia akan terbiasa dengan hadirnya Jiro di rumah ini kembali.

Semua hanya butuh terbiasa bersama untuk memutuskan rasa canggung yang tercipta karena jarak.

Jiro terlihat banyak berubah. Dia tidak secuek dulu di mana adik laki-lakinya itu selalu menghindari pertemuan keluarga dan pergi dengan alasan bertemu dengan teman-temannya. Jiro selalu merespons Kalila yang tak bisa menyembunyikan rasa senang atas kehadiran Kalila di rumah ini. Mungkin, faktor usia juga membuat Jiro tak lagi melihat Kalila dengan enggan seperti saat mereka masih kecil.

Adam tak mungkin lupa bagaimana Jiro dan Kalila tidak begitu dekat sejak kecil. Bagaimana pun usaha Kalila untuk mendekati kakaknya itu, Jiro akan tetap menjauhi Kalila dengan ekspresi yang kesal. Dulu Adam tak tahu apa-apa, tetapi ketika Adam mengerti sedikit hal tentang kehidupan, dia menduga bahwa marahnya Jiro pada Kalila ada kaitannya dengan status darah Kalila dalam keluarga ini.

Namun, Jiro lebih bisa bersikap dewasa sekalipun usia Jiro bahkan masih terbilang remaja. Jiro pasti lebih bijak dalam meluangkan waktunya dengan keluarga ini yang telah dia sia-siakan sebelumnya.

"Menurut lo, Kalila itu gimana?" tanya Jiro tiba-tiba.

Adam menoleh dan menaikkan alis pada Jiro yang menatap langit gelap. "Kalila?"

"H'em."

"Apanya yang gimana?" Adam tak mengerti. Jiro bertanya ke arah mana? Namun, Adam langsung menjawab sesuai dengan pikirannya tentang Kalila. "Dia adik yang manis. Gue nggak bisa bayangin gimana jadinya kalau dia nggak ada di rumah ini. Gue bersyukur dengan kehadiran Kalila. Tanpa Kalila, rumah ini pasti hampa banget. Dan Trey pasti kesepian karena punya kakak yang kaku kayak gue sementara lo tinggalnya bareng Paman dan Bibi."

"Adik yang manis, ya...."

"Lo berpikir hal yang sama, kan?"

"Yap." Jiro tersenyum kecil. "Dia adik yang manis."

Adam tak tahu apa yang terjadi beberapa tahun ke depan.

Andaikan dia tahu tujuan Jiro berubah karena menginginkan Kalila, maka sejak malam itu dia tak akan membiarkan Jiro menjadi dekat dengan Kalila.

Adam tidak tahu bahwa Jiro yang terlihat biasa saja itu ternyata adalah seseorang yang berbahaya untuk Kalila, adik tersayangnya.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Ruang dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang