18

3.4K 331 9
                                    

18

Kalila meneguk ludah. Dia berada di situasi yang tidak nyaman. Merasa enggan, tetapi juga tak bisa berkata-kata. Mereka baru pacaran sehari dan apakah hubungan mereka harus sejauh ini?

Apa ini ... normal dalam hal pacaran?

Lagipula, Kalila belum menyukai Arvin!

"Kalau nggak lo bolehin, gue nggak akan maksa, kok," kata Arvin dengan suara pelan dan rendah.

Kalila baru akan menolak, tetapi tiba-tiba saja pintu kelas terbuka dan membuat Arvin menjauh dan pura-pura melakukan sesuatu.

"Emily!" Kalila refleks berteriak dan entah kenapa merasa lega cewek itu tiba-tiba datang. Kalila mengambil tasnya dengan buru-buru dan menghampiri Emily yang terdiam di ambang pintu. "Katanya lo udah pulang?"

"Gue nungguin lo. Si Trey sialan itu nitip lo ke sopir gue, bukan gue."

Kalila menatap Arvin dan melambaikan tangan tanpa mengatakan apa-apa, lalu buru-buru cewek itu memeluk lengan Emily agar bisa menarik Emily untuk pergi dari sana.

"Duh ngerepotin sopir lo lagi. Gue hubungi Kak Jiro dulu. Mana tahu dia belum pulang," kata Kalila, mengambil ponselnya di dalam tas sambil terus melangkah buru-buru agar cepat menjauh dari kelas. Dia menghubungi Jiro dan kakaknya itu dengan segera menjawab.

"Ya, Kalila?"

"Kak? Di mana sekarang?"

"Kenapa?"

"Nggak, tanya aja. Hehe."

"Lagi di rumah temen. Kerja kelompok. Kangen?"

Kalila terdiam. Dia tak jadi pulang bersama Jiro dan mau tak mau akan pulang bersama Emily hari ini.

***

Jiro menaruh kembali ponselnya di meja setelah selesai berteleponan dengan Kalila. Jiro sedang berada di rumah Ashana, di ruang tamu yang hening. Pintu terbuka lebar dan angin dari luar masuk ke ruangan itu.

Jiro juga baru tiba di rumah Ashana. Jiro membonceng Ashana hingga tiba di rumah ini. Bahkan mereka sempat singgah untuk membeli barang-barang untuk keperluan kerja kelompok. Kerja kelompok itu harus bersama teman sebangku dan membuat mereka mau tak mau menjadi teman kelompok.

"Nggak ada siapa-siapa di rumah lo?" tanya Jiro setelah duduk di kursi dan tak mendengar suara apa pun selain mereka berdua.

"Ah, iya," balas Ashana. "Ortu gue lagi kerja."

Jiro menaikkan alis dan menatap Ashana yang sedang mengeluarkan barang belanjaan dari tasnya. "ART? Saudara?"

Ashana menggeleng. "Nggak punya...." Ashana lalu berdiri dan Jiro mengikuti setiap gerak cewek itu dengan pandangan matanya. "G—gue ke dapur dulu. Mau ngambil minum. Pasti lo haus."

Setelah mengatakan kalimat itu, Ashana langsung pergi dengan buru-buru. Jiro tersenyum kecil karena Ashana yang selalu terlihat salah tingkah di depannya. Cewek itu terlihat sekali bahwa dia menyukai Jiro dan Jiro sudah tahu bahwa Ashana menyukainya di hari pertama mereka menjadi teman sebangku di kelas XII ini karena sikap Ashana yang mudah sekali terbaca.

Mereka sempat sekelas sat masih kelas X, tetapi Jiro bahkan tidak begitu mengenal Ashana.

Jiro menatap Ashana yang datang membawa nampan yang di atasnya ada gelas kaca tinggi berisi air mineral dan sebuah stoples kaca berisi camilan. Tangannya gemetar dan dia berjalan dengan hati-hati. Jiro refleks berdiri dan melangkah ke hadapan Ashana, berniat membantu cewek itu. Ashana tersentak, tetapi Jiro dengan cepat memindahkan nampan berat itu di tangannya.

"Santai sama gue," kata Jiro di mana posisinya dan Ashana sangat dekat, hanya dipisahkan oleh nampan itu. Saat Jiro menunduk, dia bisa melihat dengan jelas betapa salah tingkahnya Ashana. Pipinya yang putih terlihat merona merah.

"Beneran. Santai aja sama gue," kata Jiro pelan sambil menahan senyum, lalu dia menaruh nampan itu ke atas meja. Jiro kembali duduk di kursi dan mulai menyiapkan keperluan kerja kelompok.

Dilihatnya Ashana yang masih saja salah tingkah bahkan ketika cewek itu duduk berhadapan dengannya.

Ah, mengapa Ashana terlihat menggemaskan?

Sesaat setelah pertanyaan itu terlintas di benaknya, Jiro langsung tersadar, apa akhirnya ada satu cewek yang benar-benar membuatnya teralihkan dari pikiran tentang Kalila?

Jiro sadar bahwa perasaannya pada Kalila adalah sesuatu yang salah, tetapi Jiro selalu denial dan berusaha meyakinkan diri bahwa tak ada yang salah jika dia menyukai Kalila.

Mereka tidak sedarah. Kalila hanyalah anak dari orang lain yang kebetulan hidup sebagai anak Ibu dan Bapak selama belasan tahun.

Jiro sudah semakin dekat dengan rencana. Rencana untuk membuat Kalila tak menganggap Jiro sebagai saudara lagi. Dan Jiro tak akan berhenti sampai rencana itu berhasil. Apalagi pikirannya dimasuki oleh cewek lain seperti Ashana.

"Ashana," panggil Jiro pada Ashana yang langsung gelagapan. "Tolong lihat gue."

Ashana tersentak dan menatapnya dengan ragu-ragu. "Ya...?"

"Tolong bersikap biasa aja di depan gue. Kayak biasanya lo bersikap ke temen-temen kelas yang lain," kata Jiro dengan senyum kecil, khawatir Ashana akan tersakiti jika dia menatap Ashana dengan datar. "Karena sikap lo rasanya berbeda hanya ke gue. Dan itu sangat ganggu. Jadi, biasa aja di depan gue, ya, Shan?"

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Ruang dan WaktuWhere stories live. Discover now