30

2.6K 243 18
                                    

30

"Enggak salah gue milih kalian berdua. Makasih," kata Kala.

Sungguh. Dari mana asal manusia tak tahu diri satu ini? Jiro sudah senang karena akhirnya Kalila muncul setelah Jiro menunggu sedikit lebih lama dari biasanya, tetapi tiba-tiba saja seorang siswa baru di kelas Kalila muncul di belakang Kalila dan mengejar gadisnya itu. Dan dengan tak tahu dirinya duduk di kursi yang Jiro siapkan untuk Kalila, yaitu kursi yang ada di hadapan Jiro. Karena itu, Kalila harus duduk di samping Jiro dan Jiro malah melihat wajah Callahan saat makan.

"Dia ini susah diusir tahu, Kak! Kayak lintah." Kalila menggenggam tangan Jiro di bawah meja. Kalila khawatir Jiro cemburu dan salah paham padanya. "Dia yang ikut-ikut. Diusir enggak mau. Serius."

Jiro menghela napas. "Terserah dia, lah." Toh, tadi Kala yang antre mengambil makanan dan minuman untuk mereka bertiga sehingga Kalila dan Jiro bisa berdua-duaan lebih lama. Yah, meskipun porsi Kala dua kali lipat dari makanan Kalila dan Jiro. Di atas meja itu ada beberapa nasi bungkus, kotak berisi nasi ayam, jus buah, air mineral botol, dan beberapa gorengan dan camilan yang jumlahnya tak sedikit. "Lo kayaknya enggak makan berhari-hari. Tuh, bibir lo. Belepotan."

Kala mencondongkan wajahnya dan memiringkan sedikit kepalanya. "Usapin, dong."

"Jangan kurang ajar." Jiro mendengkus, lalu menatap Kalila dengan lembut. "Lo enggak makan?"

"Ini mau." Kalila melepaskan genggaman tangannya pada Jiro di bawah meja, lalu mengambil garpu dan menancapkan ujungnya ke risol sayur.

Kala menatap Jiro sebentar, lalu beralih menatap Kalila. "Gue ngaku. Gue nggak punya uang. Makanya minta makan bareng sama Kalila. Terus lebih bagus lagi kalau ada dua orang yang traktir gue."

Kalila berdecak menatap Kala. "Sekarang gue ngerti kenapa lo enggak bilang selamat pagi, Fritzi, karena lo mau manfaatin gue, kan?"

Kala menggeleng. "Kalian berdua memang wajib kok ngasih gue makan."

"Dih!" Kalila menggigit bibir menatap wajah songong Kala, lalu beralih menatap Jiro di sampingnya. "Kak, jangan kasih dia hati. Nanti minta jantung!"

"Gimana kalau kita main keluarga cemara?" Kala menaik-naikkan alisnya. "Lo ibu." Kala menunjuk Kalila, lalu beralih ke Jiro. "Lo bapak gue. Gue anaknya." Terakhir, Kala mengarahkan telunjuknya ke dadanya.

Jiro sedikit melunak karena dia jadi Bapak dan Kalila jadi Ibu, tapi, yah, dia tidak punya anak sebesar Kala juga. Jiro sedikit iba karena Callahan terlihat seperti anak yang kesepian, dan itu mengingatkan Jiro pada dirinya di masa lalu, tetapi tetap saja Jiro tak boleh larut dalam empati karena bisa saja ini adalah cara Callahan untuk merebut perhatian Kalila darinya.

"Gue beneran enggak punya uaaaang! Nanti gue mati kelaparan di sini gimana? Gue udah luntang lantung di sini. Apa kalian enggak kasihan sama anak sendiri?"

"Apa, sih? Anak siapa? Ish!" seru Kalila, sewot dan tak terima jadi Ibu dari anak songong itu.

Jiro menatap Kala dengan tatapan tajam. "Makan. Habisin. Kalau lo banyak omong lagi, gue buang lo ke jalanan."

Kala langsung duduk dengan tenang dan makan dengan lahap. "Siap, Bapak!"

***

Setelah menyelesaikan PR Bahasa Indonesia, Kalila merenung sebentar di kursi belajarnya, memikirkan kembali mengapa Jiro membiarkan Callahan ikut makan bersama dan mentraktir cowok itu. Kalila berdiri dari kursi, lalu keluar dari kamar menuju kamar Jiro yang tertutup. Dia masuk tanpa permisi atau sekadar mengetuk pintu, seperti yang sering Ibu katakan sebelum masuk ke kamar siapa pun, karena Jiro sendiri yang mengatakan untuk langsung masuk saja sebagai tanda bahwa yang datang adalah Kalila.

Ruang dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang