10

4.4K 418 13
                                    

10

Baru beberapa hari berada di kelas XI, tetapi Kalila sudah merasakan banyak perbedaan atmosfer jika dibandingkan saat dia masih kelas X.

Meski Kalila dan Adam tak sering bertemu, tetapi lulusnya Adam dari SMA membuat Kalila merasa ada yang kurang di masa putih abu-abunya. Adam sedang mengurus perkuliahannya di Semarang. Kakak tertuanya itu memang sejak dulu ingin ke sebuah kampus impiannya di sana. Beberapa tahun ke depan, Adam akan jarang pulang karena kesibukannya berkuliah di luar kota.

Kalila keluar dari kelas yang menjadi tempat berkumpulnya anggota-anggota baru ekstrakurikuler seni tari. Dia telah menjadi senior dan membantu anggota-anggota barunya dalam mengenal ekstrakurikuler ini lebih dalam. Emily ikut di ekskul seni tari, mengikuti Kalila yang mendaftar tahun lalu. Kalila sampai bosan Emily terus mengikuti ke mana pun dia pergi.

Ngomong-ngomong mengenai Jiro, kakak keduanya itu ternyata diam-diam memiliki kepintaran di atas rata-rata. Meski begitu, Jiro enggan memasuki ekstrakurikuler mana pun. Ketika ada yang menawarinya untuk menjadi ketua OSIS—Kalila menebak yang menawarinya itu ingin mengambil suara para cewek-cewek di sekolah—, Jiro menolak dengan tegas dan ingin menjalani masa putih abu-abunya dengan santai. Tak peduli organisasi, tak peduli dia akan memasuki universitas mana. Dia hidup tanpa ambisi di dunia pendidikan dan membuat Kalila gemas karena Jiro tidak memanfaatkan kepintarannya itu dengan baik.

Berbeda dengan Jiro, Trey justru berotak udang. Dia hanya membesarkan ototnya daripada otak. Dia langsung memasuki ekstrakurikuler basket ketika hari pertamanya memasuki SMA ini satu tahun lalu. Dia berambisi untuk terus tumbuh tinggi sampai Kalila tidak bisa mengejar tingginya. Padahal sejak pertengahan SD, Kalila sudah mustahil mengejar tinggi cowok itu.

Namun, ambisi Trey beralih pada yang lain, yaitu untuk mengalahkan tinggi Jiro. Dia telah berhasil mengalahkan tinggi Adam di usianya yang masih 16 tahun, tetapi dia masih ingin melewatkan tinggi badan Jiro. Kalila pikir, Trey akan sulit mengejar tinggi Jiro karena Jiro juga rajin berolahraga, terutama berenang. Sudah sejak kecil Jiro suka berenang dan bahkan mengikuti olimpiade yang didukung oleh Paman dan Bibi. Namun, dia tidak meneruskan bakatnya itu ketika sudah remaja dan hanya menjadikannya hobi.

"Anggota-anggota baru sekarang pada songong, ya. Sok cantik juga, dih," ujar Emily setelah keluar dari kelas di mana anggota-anggota baru sedang bersiap-siap keluar. Bahkan, mungkin saja ada yang mendengar ucapan sinisnya itu. "Ada yang pakai maskara. Mau gue cubit tuh bulu matanya."

"Masa, sih? Gue cuma lihat anak kelas satu yang bulu matanya lentik dan panjang," balas Kalila.

"Ya ampun. Itu dia pakai maskara!"

"Terus, kenapa nggak lo tegur aja malah ngomongin dia di belakang?"

"Ada Kak Yumi," jawab Emily sambil memutar bola mata. "Dia kan nggak suka kalau gue yang ngomong. Pasti nanti gue yang disinisin balik. Apa pun yang gue bilang pokoknya salah. Lo mah enak, jadi adik kesayangannya."

Kalila menghela napas. Yumi adalah ketua ekstrakurikuler seni dan entah kenapa tidak menyukai Emily secara pribadi. Yumi tidak profesional karena tidak bisa menyamarkan perasaan pribadinya dalam ekskul.

Langkah Kalila perlahan berhenti ketika melihat Arvin berjalan ke arahnya sambil memegang sebuah tas kertas berwarna cokelat. Cowok itu berhenti di depannya dan mengulurkan tas kertas itu.

Kalila menerima tas itu dengan bingung. "Apaan?"

"Lupa? Tali sepatu lo udah gue balikin di dalam sana. Ada dua tali sepatu baru juga. Sebagai permintaan maaf gue."

"Hoo." Kalila mengangguk-angguk, lalu mengintip isi tas itu. Ada tiga tali sepatu berwarna hitam. Dua tali sepatu memiliki bentuk yang sama. Satu lagi berbeda. Kalila kembali menatap Arvin dan meninju lengan cowok itu sambil tersenyum cerah. "Makasih, loh!"

Kalila tak akan mungkin menolak permintaan maaf yang tulus dari Arvin. Kalila lalu menoleh pada Emily. "Oi."

Emily tersentak saat menoleh padanya. "Apa? Kenapa?"

"Lo ngelamunin apaan, sih? Nih." Kalila mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah gelang yang sebelumnya tidak ada. "Kenapa lo malah makein gue gelang lo, Emily?!"

***

Jiro sedang berdiri tak jauh dari mereka, tetapi satu pun dari mereka tak akan menyadari kehadiran Jiro karena pandangan mereka terhalang oleh koridor dan lemari kaca yang berisi piala-piala murid yang disita oleh pihak sekolah. Namun, Jiro bisa melihat dengan jelas mereka bertiga dari tempatnya sekarang.

Beberapa hari ini, cowok bernama Arvin itu terus berada di sekitar Kalila. Jiro merasa terganggu karena Arvin terlihat jelas menyukai Kalia, tetapi Jiro sedikit lega karena dua hal.

Pertama, Kalila tak akan mungkin berpacaran. Kalila sendiri yang mengatakan itu satu tahun lalu bahwa dia tidak akan berpacaran sebelum tamat dari SMA.

Kedua, Jiro tahu bagaimana gerak-gerik seorang cewek ketika menyukai lawan jenisnya. Kalila tidak tertarik sedikit pun pada Arvin.

Lalu, Emily menyukai Arvin.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Ruang dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang