Bab 5 Don't Touch Me

833 119 30
                                    

Awas typo

Happy reading :)

***

Mata Giana mengerjap saat alarm di atas nakas berbunyi nyaring, jam setengah empat pagi. Waktu subuh yang mengharuskan Giana bangun untuk melakukan ibadah.

Tubuhnya yang berat Giana paksa bangun, dengan mata mengantuk setengah terbuka Giana berjalan ke kamar mandi. Mencuci wajah, sikat gigit, melakukan setoran pagi dan dilanjutkan mengambil air wudhu.

Mukena yang Giana letakkan didalam lemari dirinya ambil beserta sajadah, menunaikan ibadah mulai dari yang sunnah sampai ibadah wajib. Giana juga menyempatkan diri membuka Al-Quran, mengaji dengan suara amat sangat pelan. Dia tidak mau didengar oleh Daffa saat mengaji, nanti malah mendapat ejekan karena suaranya mengaji sangat sumbang. Pukul lima lebih beberapa menit Giana selesai, melipat mukena dan meletakkan pada gantungan yang sudah ada.

Dengan kesadaran penuh Giana melangkah turun, undakan tangga yang memiliki lampu otomatis saat dipijak membuat Giana terkekeh. Daffa merogoh kocek sangat dalam untuk unit apartement ini.

Cklek.

Giana membuka pintu, ruang tengah masih gelap dan hening, matanya menatap ke arah pintu kamar Daffa yang ada disamping ruang keluarga. Sepertinya laki-laki itu masih tidur, Giana mengangkat bahu, dia tidak peduli. Tujuannya turun adalah untuk mengisi perut, tiba-tiba saja pagi buta Giana kelaparan.

"Sedang apa?"

"ASTAGA!"

Jantung Giana hampir lepas dari tempatnya, ruangan yang masih gelap dan hening tiba-tiba saja telinganya mendengar suara. Suara itu berasal dari Daffa yang ternyata sejak tadi duduk pada sofa ruang keluarga. Laki-laki itu duduk disana sendiri, dengan kondisi gelap gulita.

"Hampir gue kira setan," dengus Giana, tangannya menekan saklar lampu, barulah terlihat wajah segar Daffa yang menatap dirinya.

Rambut Daffa terlihat setengah basah dan wajah terlihat segar, pasti laki-laki itu sudah mandi. Giana tebak, Daffa baru saja selesai menunaikan ibadah subuh sama sepertinya, terbukti dengan sarung yang laki-laki itu gunakan.

"Sudah sholat?" tanya Daffa.

"Udahlah, lo pikir gue hamba apaan yang ninggalin ibadah." Giana menatap malas Daffa, kakinya kembali melanjutkan langkah, dapur adalah tujuan utama.

Daffa menatap semua yang tengah Giana lakukan, perempuan itu tengah memeriksa seluruh isi dapurnya termasuk kulkas. Ruang keluarga dengan dapur tidak diberikan penghalang, hanya vas bunga dan akuarium sebagai pembatas. Jadi sudah pasti Daffa bisa melihat apa yang Giana lakukan.

Melihat Giana yang tengah mengambil sayur dan daging membuat Daffa paham, sepertinya sang istri ingin memasak. Daffa sih tidak berharap untuk dimasakkan, karena dirinya sudah tahu Giana akan masak hanya untuk dirinya sendiri.

Tidak ingin membuat Giana tidak nyaman karena terus ditatap, Daffa kembali menidurkan kepala pada sandaran sofa. Memejamkan kedua mata, mencoba untuk tidur karena semalaman dia tidak bisa tertidur akibat isi kepala yang terlalu berisik. Sebenarnya Daffa tidak pernah tidur setelah ibadah subuh, tapi demi kondisinya yang harus tetap fit saat bekerja nanti, Daffa harus memejamkan mata barang satu jam.

"WOY!" Suara lengkingan Giana membuat kelopak mata Daffa kembali terbuka.

"Iya?" Daffa menolehkan kepala, menatap Giana yang sudah mengacungkan pisau ke arahnya. Pagi-pagi sudah mendapat acungan pisau dari istri, pemandangan yang indah bukan. Terlihat mereka yang sangat akur.

"Lo mau makan juga gak?" tanya Giana dengan tatapan nyalang. "I mean, breakfast." Giana mengoreksi kalimatnya.

"Boleh jika kamu memaksa," balas Daffa, matanya sudah tidak ingin memejam lagi.

Giana berdecak, kalau bisa dia ingin sekali melempar pisau ditangannya ini ke arah Daffa. Tapi kan tidak lucu, nanti ada berita keluar dengan headline 'Seorang istri membunuh suami di hari kedua pernikahan mereka.'

"Jangan buat gue makin berniat buat lenyapin lo," tukas Giana, dia kembali melanjutkan kegiatan memasak, mengabaikan Daffa.

Bangun dari duduknya, Daffa berjalan menuju kamar, sepertinya dia memang tidak ada kesempatan untuk tidur walau hanya tiga puluh menit. Daffa memilih untuk mengganti pakaian, dia harus siap-siap bekerja karena nanti jam delapan pagi harus bertemu dengan klien.

"DAFFA!"

Teriakan kencang Giana langsung membuat Daffa lari tergopoh-gopoh keluar kamar, menghampiri istrinya yang masih ada di dapur. Daffa sampai lupa jika dia hanya mengenakan celana bahan tanpa mengenakan atasan. Saking paniknya karena teriakan Giana membuat Daffa lupa memakai baju.

"Kenapa?" Daffa menatap Giana yang tengah menyiram tangan dibawah air shower.

"Tangan gua luka," balas Giana santai, menunjukkan jari telunjukknya yang mengeluarkan darah.

Daffa langsung meraih telapak tangan Giana, kembali menyiram jari telunjuk sang istri dengan air shower tempat cuci piring. Membersihkan sisa-sisa darah, baru setelah itu Daffa membawa Giana yang melotot ke ruang tengah. Mendudukkan Giana ke sofa, setelah itu Daffa pergi mengambil kotak P3K.

"Tahan sedikit, mungkin akan perih," ucap Daffa setelah kembali dengan satu box kotak P3K. dia duduk di atas lantai, berhadapan dengan Giana.

Tangan Daffa dengan telaten mengobati telunjuk Giana, mulai dari mengoleskan obat merah sampai memasang perban. Semua itu Daffa lakukan dalam diam, tidak memperhatikan kedua bola mata Giana yang masih melotot dengan wajah mengeras.

"Sudah." Daffa melepas telapak tangan Giana setelah selesai mengobati.

Baru Daffa menatap mata Giana, perempuan dihadapannya saat ini sudah seperti ingin melahap orang hidup-hidup, mimik wajahnya sangat buas. Adakah kesalahan yang Daffa lakukan? Tolong beri tahu Daffa.

"LO NGAPAIN GAK PAKE BAJU!" Lengkingan Giana kembali terdengar. "Dan ini, siapa yang kasi izin lo buat nyentuh gue?" Giana menunjuk jarinya yang sudah diobati.

"Maaf, tadi saya buru-buru keluar kamar saat mendengar teriakan kamu, sampai lupa memakai atasan," sambut Daffa.

"Maaf juga karena saya lancang menyentuh kamu," lanjut Daffa dengan merasa bersalah, dia lupa saat menyentuh pergelangan Giana tadi. Daffa belum meminta izin.

"MASUK KE KAMAR LO! PAKAI BAJU! JANGAN BUGIL DEPAN GUE!"

Giana langsung bangkit, kembali menuju dapur untuk melanjutkan acara memasaknya yang sempat tertunda karena ulahnya sendiri. Mulut Giana mengumpati Daffa, lebih tepatnya juga ikut mengumpati dirinya sendiri yang bodoh sampai mengiris jari sendiri.

Ingin sekali memaki Daffa yang main memamerkan tubuh atasnya dihadapan Giana. Satu hal yang Giana lakukan setelah dirinya berdiri dibalik kitchen table untuk mamasak, istigfar banyak-banyak. Matanya sangat-sangat berdosa, pagi-pagi sudah melihat suaminya telanjang, ya walaupun hanya tubuh bagian atas.

"Bisa gila gue lama-lama," rutuk Giana, memijit pangkal hidung.

***

Sementara dibalik pintu kamarnya, Daffa tidak pernah melepas senyum. Laki-laki itu menatap tangannya yang tadi sempat menyentuh lama telapak tangan Giana, bahkan mereka sempat bergandengan. Senyum Daffa terlalu lebar, saking lebarnya bisa jadi orang-orang akan mengiranya gila.

"Astaga, kenapa rasanya dahsyat sekali," lirih Daffa, memegang jantungnya yang bedetak kencang.

Harus kalian tahu, ini adalah detak jantung paling kencang kedua yang Daffa rasakan. Kapan yang pertama? Kemarin saat mereka menikah, kala Daffa mencium kening Giana dan melafazkan untaian ijab qabul.

Rasanya jantung Daffa seperti tengah menabuh gong dengan kencang, hanya perkara kulit tangannya bersentuhan dengan kulit tangan Giana sampai menimbulkan efek seperti ini. "Giana, tolong bantu saya," gumam Daffa, matanya terus menatap telapak tangan.

"Bantu saya untuk melunakkan hati kamu."

Kalau sudah begini, apalagi selanjutnya? Apakah Daffa akan benar-benar bisa menaklukkan hati Giana? Atau justru Giana sendiri yang takluk dengan Daffa? Coba kalian tebak? Akan berlanjut seperti apa kisah mereka.

.

Tbc

***

Menurut kalian cerita ini bagus gak buat dilanjut? 

Found YouWhere stories live. Discover now