Prologue | Ilusi Kuasi

296 71 48
                                    

Bukan lagi remang-remang, sarwa hitam pekat telah menelan penuh indra penglihatanku tanpa sisa. Berulang kali mata ini mengerjap, tidak ada secercah pendar yang berhasil kuterka. Begitu juga tubuhku yang memberikan respons berlawanan dengan gravitasi bumi, terasa ringan layaknya sedang berayun-ayun di awang-awang. Bahkan aku juga merasakan seolah-olah diri ini diisolasi di suatu tempat terpencil, di mana tidak ada satu pun suara yang menyapa rungu kecuali deru napasku sendiri.

Apakah ini ruang hampa yang dikatakan orang-orang ketika mereka bertemu dengan ajal? Tidak ada cahaya. Tidak ada suara. Terjebak dalam kesamaran tak berujung, pikirku sederhana.

Sayangnya, deduksi tersebut hanyalah bualan semata. Sayup-sayup atensiku menangkap adanya pergerakan di depan sana, secara bersamaan pun terdengar adanya bunyi patah-patah dari titik kegelapan tersebut.

"Siapa?" tanyaku lirih, tapi tidak ada jawaban.

Dahiku mengernyit, atensiku menyipit berusaha memfokuskan arah pandangku pada satu titik yang makin lama makin mendekat ke arahku dengan langkah tertatih-tatih. Belum bisa mengetahui wujud bayang-bayang apa yang tertangkap di penglihatanku, bisa kudengar bunyi patah-patah serupa dari berbagai sisi. Saling bersahut-sahutan hingga membuat runguku berdengung panjang dan berakhir dengan cairan kental berwarna merah merembes keluar dari dalam sana. Seketika aku meringis kesakitan, diikuti dengan jemari tanganku yang refleks meredam suara memekakkan tersebut dengan menutup indra pendengaranku.

Kebisingan tersebut lantas buyar dalam sekejap, tergantikan oleh atmosfer hening ketika sosok-yang kukira hanya ada satu-kulihat dalam kegelapan, tengah berdiri mengitariku dengan kepala tertunduk. Semuanya.

Dalam diam, kuamati satu per satu perawakan dari delapan laki-laki yang mengepungku ini dengan saksama. Walau dalam keadaan remang-remang, aku bisa melihat ada sesuatu yang menancap di ubun-ubun kepala mereka masing-masing. Kelewat penasaran, kedua tungkaiku lantas bergerak maju untuk mendekat ke salah satunya. Aku sempat menahan napas sejenak ketika melihat benda yang membuatku penasaran beberapa sekon lalu itu adalah pengait besi. Beragam pemikiran negatif berlomba-lomba mengisi otakku. Manusia mana yang tega menancapkan pengait besi di ubun-ubun kepala manusia seperti ini? Apa tujuan dari tindakannya yang seperti ini? Apakah orang itu adalah psikopat? Namun, helaan napas lolos begitu saja saat jemari tanganku menyentuh ubun-ubun kepala tersebut dan menyadari bahwa delapan laki-laki yang berdiri di sekitarku bukanlah manusia, tapi wooden man-yang acapkali aku gunakan ketika menggambar ilustrasi komik dulu.

Saat aku menarik jemari tanganku kembali, tanpa sengaja gerakku terhentikan oleh seutas nilon transparan lurus yang terikat pada pengait besi tersebut. Buru-buru saja aku meraih benang tersebut untuk mencari sisi lain yang terikat. Begitu kepalaku mendongak ke atas, atensiku kontan membola ketika melihat sepasang tangan raksasa tengah menggerakkan seluruh jemari tangannya yang terikat dengan nilon begitu bebas di udara. Otomatis suara patah-patah yang sempat membisu beberapa waktu lalu, kini kembali terdengar. Saat pandanganku beralih ke posisi semula, napasku tercekat dan bulu kudukku meremang seketika saat melihat kepala-kepala wooden man yang tadinya tertunduk lesu kini menatapku lekat. Secercah mata, tatapannya terlihat kosong, tapi jika menyelami pandangan tersebut, bisa kurasakan amarah dan kebencian memancar kuat dari sorot mata kosong itu.

Tanpa aba-aba, pasukan wooden man tersebut tiba-tiba bergerak maju dan refleks saja aku langsung mengambil langkah mundur. Sorot mata mengintimidasi dan langkah patah-patah tersebut perlahan membuat keberanianku menciut. Tidak ada lagi ruang gerak bebas, aku terhimpit dan berakhir dengan berjongkok sambil memeluk kedua lututku. Tangan-tangan kayu yang meraba tubuhku membuat sekujur tubuh ini bergetar hebat, bunyi patah-patah tersebut menjadi traumatis untukku. Sekon ke depan, disusul dengan rintihan vokal-vokal yang makin berhasil menyudutkanku di ruang kegelapan yang mencekam.

"Marveliano ... mengapa kau tega membiarkan kami melewati masa-masa sulit ini sendirian?"

"Marveliano ... bagaimana bisa kau lolos sedangkan kami tidak?"

"Kau harus mati, Marveliano!"

Tanpa pikir panjang, aku memilih untuk beranjak pergi tanpa arah. Pikirku hanya satu, aku harus melarikan diri!

Dalam keadaan berlari, aku curi-curi pandang untuk menoleh ke belakang. Keputusan yang membuatku menyesal karena melihat penderitaan para wooden man yang mengerang kesakitan ketika satu per satu bagian dari tubuh mereka dicabut secara paksa ketika mengejarku. Secara ajaib cairan merah yang menyerupai darah pun mengalir dari sepasang mata mereka seolah-olah sedang menangis meronta-ronta. Selain perasaan lega karena tidak lagi dikejar, ada sebuah tanda tanya besar dalam benakku.

Bagaimana bisa wooden man tersebut bersikap layaknya manusia?

Kretek!

Dalam sekali tarikan, bisa kurasakan seluruh sendi pada tubuhku patah secara tiba-tiba. Tanpa disadari, seluruh akses gerak pada tubuhku sudah diikat dengan nilon dan bergerak bebas di luar kuasaku. Lantunan musik sedih mulai terdengar, tubuhku dituntun untuk membentuk lingkaran dan menari tanpa arah di udara bersama dengan wooden man lainnya yang sudah tidak berbentuk utuh. Bunyi patah-patah tersebut kini tidak lagi memuakkan setelah aku menjadi bagian dari mereka, terdengar bersenyawa membentuk melodi sendu yang memilukan.

Walau sudah tidak memiliki kendali atas gerak tubuh masing-masing, tapi cairan merah menyerupai darah tiada hentinya mengalir dari sorot mata mereka yang kosong. Secara bergantian, kini mereka melihat ke arahku dengan tatapan memohon seolah-olah minta tolong untuk dibebaskan. Namun, bagaimana caranya?

"Kini tiba waktunya untukmu bermain, Marveliano. Kau ... tidak bisa lari lagi."

"

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.
Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Kde žijí příběhy. Začni objevovat