3 | Reminisensi Lengkara

77 46 43
                                    

Benar kata orang-orang di luar sana, salah satu hal yang paling melelahkan di dunia ini adalah menunggu. Lebih tepatnya menunggu sebuah kepastian kapan statusku sebagai pasien rumah sakit ini bisa dicabut. Jujur saja, terjebak hampir seminggu lamanya di rumah sakit adalah hal yang buruk dan tentu saja membosankan karena tidak bisa bergerak bebas. Gerak-gerikku dipantau begitu kentara layaknya seorang buronan kelas kakap yang hendak melakukan aksi terselubung. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwasanya aku seorang pasien, tapi untuk melakukan aksi terselubung, aku memang memiliki rencana untuk kabur. Namun, hanya kabur sesaat untuk mencari udara segar di sekitar taman rumah sakit.

"Marvel," panggil bunda yang membuatku berpaling ke arahnya. "Bunda masih ada yang mau dibicarakan sama dokter, kamu mau menunggu di sini atau kembali ke kamar inap?"

Seulas senyum kemenangan merekah di bibirku, spontan saja aku memilih opsi penawaran kedua untuk melancarkan aksi licikku. "Aku ke kamar inap saja, Bun."

Bunda mengangguk mengerti. "Ok, kalau gitu bunda antar kamu ke kamar inap dulu."

"Eh, nggak usah, Bun! Aku bisa balik sendiri, kok!" sergahku, membuat bunda terkejut karena tiba-tiba saja intonasi bicaraku lebih tinggi dari biasanya. Buru-buru saja aku memberikan alasan logis agar rasa curiga tidak menggelitik perasaan bunda. "Ruang CT Scan dan kamar inapku nggak jauh, hanya berjarak 5 kamar inap, Bun. Lagipula bunda bilang ada yang mau dibicarakan dengan dokter, kan? Nggak mungkin, dong, meminta dokter untuk menunggu karena bunda tadi lihat sebelum masuk ruangan, sudah ada beberapa pasien dokter lainnya yang menunggu giliran. Bunda ... jangan khawatir, ya? Aku bisa sendiri, kok. Percaya, deh!"

Bunda menatapku cemas. "Bunda temenin. Kalau tiba-tiba saja ada apa-apa denganmu, gimana?"

"Bu Mervysa, saya rasa tidak apa-apa membiarkan Marveliano kembali ke kamarnya seorang diri. Di sepanjang koridor rumah sakit ini ramai, banyak juga perawat yang berjaga. Jadi Marvel pasti akan baik-baik saja, Bu."

Bak seorang penyelamat, ucapan dokter barusan seperti obat penenang untuk kecemasan bunda. Akhirnya, perselisihan sederhana antara seorang anak dan ibu ini dimenangkan olehku. Kupandangi wajah bunda dengan ekspresi meyakinkan, sesekali berpose imut layaknya anak kecil. Alhasil, anggukan kepala bunda menjadi bentuk validasi. Langsung saja aku bergegas meninggalkan ruangan dengan langkah tergesa-gesa.

"Marvel! Jangan lari-lari kecil gitu nanti kamu jatuh!"

Lantas saja aku berbalik sambil berjalan mundur, sesekali meloncat-loncat kecil. Aksiku barusan langsung membuat bunda berdecak kesal, tidak lupa dengan sepasang mata bunda yang sudah membola sempurna seolah-olah siap menyerangku dengan celoteh panjangnya. Sebagai lambang perpisahan, aku tersenyum simpul sembari melambaikan tangan sejenak lalu melangkah ke luar ruangan dan menutup pintu begitu rapat.

Aku menghela napas lega sambil berjalan menjauh. "Akhirnya! Freedom!"

Di sela-sela perjalanan menuju taman yang terletak di tengah-tengah rumah sakit, tanpa sengaja lidahku mengecap rasa pahit di dalam rongga mulutku. Kuulurkan tanganku untuk merogoh saku, mengingat aku sempat menaruh beberapa stok permen di dalam saku ke mana pun aku pergi. Namun, bukannya menemukan benda manis yang dibalut oleh kemasan plastik mini, aku malah menggenggam sebuah benda pipih yang diameternya pas dengan tanganku. Tanpa basa-basi aku merogoh benda tersebut ke luar dari dalam saku.

"Eh?" Aku tertegun beberapa saat ketika melihatnya. "Sepertinya sebelum CT Scan tadi, aku sempat menitipkannya pada bunda ... lalu mengapa ponselnya sekarang ada di sakuku? Apa bunda diam-diam menyelipkannya masuk ketika aku diperiksa tadi?"

Aku pun manggut-manggut ketika menemukan headset di sisi saku lainnya. "Sepertinya memang bunda yang meletakkannya. Tidak mungkin, kan, ponsel bisa berjalan sendiri? Ponsel tidak punya kaki."

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now