8 | Enigma

55 38 15
                                    

Peluh dingin membasahi tubuhku karena belenggu mimpi buruk yang membuatku tersentak. Dalam keadaan napas yang masih terengah-engah karena ketakutan, bisa kuingat dengan jelas reka adegan menyeramkan dalam mimpi barusan secara detail hingga membuat bulu kudukku meremang. Salah satu memori yang tertanam jelas di dalam ingatanku adalah ketika saudara kembarku dibawa pergi oleh sekumpulan makhluk tak kasatmata ke dasar lautan berwarna merah.

"Kak Marvella?" panggilku, seraya mengedarkan tatapan cemas ke arah sekitar.

Sayangnya, aku tidak menemukan sosok Marvella. Malahan aku hanya menemukan wajah-wajah baru yang sama sekali tidak aku kenali dan mereka menatapku begitu prihatin. Namun, aku tidak peduli. Kedua tungkaiku lebih memilih untuk bergegas menyusuri setiap gerbong dari ujung ke ujung, ketimbang mencari tahu arti dari setiap sorot mata asing yang tertuju padaku.

"Kak Marvella!"

Berulang kali kurapalkan namanya hingga tenggorokanku terasa kering, tapi batang hitung Marvella sama sekali tidak kunjung terlihat. Bulir air mata hangat kembali jatuh membasahi pipi, tapi buru-buru kuseka dengan jemari tanganku. Hingga akhirnya ketika aku memutuskan untuk kembali ke kursi penumpang, sinyal kecemasanku berhasil menarik perhatian salah satu kondektur kereta api yang sedang bertugas di gerbong eksekutif lainnya.

"Maaf jika menyela, tapi apakah saya boleh tahu ada keributan apa di sini?"

Atensiku terfokus pada pria berusia matang-sekitar tiga puluh lima tahun-yang tengah menatapku serius. Nyala api pada sumbu antusiasku yang sempat meredup beberapa waktu lalu, kini kembali membara. "Saya mencari saudara kembar saya yang bernama Marvella! Apa Anda melihatnya, Pak?"

"Jika hanya menyebutkan namanya saja, akan sulit untuk saya mencari tahu keberadaan saudara kembar Anda. Bisa Anda sebutkan bagaimana ciri-ciri saudara kembar Anda?"

"Kami kembar identik beda gender, jadi wajah kami mirip. Surainya hitam panjang dan dibiarkan tergerai. Kembaran saya mengenakan setelan off shoulder dress yang dipadupadankan dengan mini dress berwarna kuning dan ia mengenakan 90's sock boots berwarna putih," jelasku begitu detail.

Kondektur tersebut mengangguk mengerti lalu dengan segera menghubungi rekannya yang lain untuk menyebarkan informasi-yang baru saja aku sampaikan-lewat pengeras suara, tujuannya untuk mempermudah orang-orang lain mencari keberadaan Marvella. Sementara itu, kondektur yang berdiri di hadapanku, sedang mengecek data penumpang melalui sistem dengan menggunakan tablet yang ada di tangannya.

"Boleh diulangi siapa nama kembaran Anda dan di mana letak kursi penumpangnya?"

"Marvella. Dia duduk di kursi penumpang yang ada di hadapan saya," jawabku tanpa ragu.

Tidak memerlukan waktu lama, bisa kulihat sepasang alis kondektur kereta api tersebut tengah bertaut dan wajahnya pun tampak bingung. Atensinya bergerak memandangiku dan tablet yang ada di tangannya secara bergantian.

"Maaf, tapi tidak ada nama penumpang atas nama Marvella di kereta api ini. Selain itu, kursi penumpang yang ada di hadapan Anda, sama sekali tidak ada yang memesan sejak keberangkatan kereta ini dari Stasiun Gambir."

Bak sebuah gada yang membentur kepalaku begitu keras, aku langsung menyadari kebodohanku. Seberapa besar usaha kondektur kereta api tersebut mencari data Marvella di sistem, tetap saja data tersebut tidak akan pernah ditemukan karena sedari awal, kehadiran Marvella layaknya penumpang gelap. Saking cemasnya, aku melupakan sebuah fakta bahwa kembaranku yang bernama Marvella, bukanlah manusia.

Saat itu, bisa kurasakan seluruh atensi yang tadinya begitu simpati tertuju ke arahku, mendadak berubah menjadi sinis. Bahkan samar-samar runguku bisa menangkap kasak-kusuk tidak menyenangkan berasal dari penumpang lain. Menyadari bahwa hiruk pikuk sekitar tidak lagi bersahabat, aku meraih tas jinjing yang ada di overhead compartment. Gerakku sempat tertahan beberapa sekon saat melihat ada tiga ikat rambut berwarna hitam dengan manik-manik bola mutiara imitasi yang diikat menjadi satu, melingkar di tangan kananku layaknya sebuah gelang. Tentu saja benda ini bukan milikku. Namun, aku tidak terlalu ambil pusing dan lebih memilih untuk bergegas ke luar dari gerbong dengan perasaan tidak enak hati.

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now