4 | Disonansi Paradoksal

78 46 53
                                    

PLAY 3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PLAY 3.21
3.20
3.19
...

Lamat-lamat bisa kudengar suara yang awalnya hanya gemeresik lirih, kini berubah menjadi sebuah dentuman mengejutkan secara tiba-tiba dan berakhir dengan gelombang rasa sakit tak terduga yang membuat runguku berdengung panjang. Langkahku lantas terhenti, dahiku mengernyit menahan rasa sakit, atensiku pun menyipit ketika menyadari bahwasanya atmosfer rumah sakit mendadak berubah menjadi kelam. Lampu-lampu rumah sakit yang tadinya menerangi koridor rumah sakit, kini menyala dan padam secara silih berganti. Anehnya, orang-orang yang sibuk lalu lalang dan beraktivitas di sekitar, tampak tidak terganggu dengan hal tersebut. Lembayung senja menghitam begitu cepat dilahap oleh mega mendung, garis kilat berwana kuning tergambar jelas di atas sana. Gemuruh terdengar membahana dan saling bersahut-sahutan, membuat lantai yang menjadi tempatku berpijak bergetar karenanya. Sekon ke depan, rintik hujan dengan intensitas besar jatuh berbondong-bondong melantam bumi. Namun, di luar sana, sama sekali tidak ada manusia yang berinisiatif pergi untuk berteduh. Mereka malah asik bercengkerama dan bersenda gurau seolah-olah tidak terjadi apa pun.

"Mengapa orang-orang terlihat nggak normal?" tanyaku heran.

Hujan deras perlahan mulai meredam dengung panjang yang membuat runguku terusik beberapa waktu lalu. Kuperhatikan dengan saksama layar ponselku yang masih menyala menampilkan galeri aplikasi rekaman suara. Tanganku tergerak untuk menekan tombol play, tapi tidak ada suara yang terdengar. Tiba-tiba aku teringat bahwa rekaman suara ini bisa berjalan dengan cara konyol, yaitu kedua tungkaiku harus bergerak maju. Haruskah? Bagaimana jika aku bergerak mundur?

Keputusanku untuk mengambil langkah mundur, langsung disambut dengan sorot lampu merah yang menyala terang hingga bisa kulihat bayanganku begitu jelas di dinding. Aku melangkah mundur sekali lagi, warna merah terang tadinya pun berubah menjadi lebih gelap. Melihat pantulan diri sendiri yang berwarna hitam di antara warna merah yang mendominasi, membuat bulu kudukku meremang seketika. Bukan, bukan karena perbedaan warna kontras yang membuatku merinding. Akan tetapi, pikiranku sendiri. Secara tidak langsung, sebagai manusia yang terlahir dengan bakat dan antusias tinggi terhadap aliran seni, membuatku memvisualisasikan warna tersebut ke dalam sebuah ilustrasi baru di dalam imajinerku. Warna merah yang mendominasi layaknya lautan darah, sedangkan hitam yang merupakan bayanganku tersebut adalah orang tenggelam. Aku buru-buru menggelengkan kepala, menepis pikiran buruk yang hinggap di serebrumku dan kembali fokus terhadap sekitar.

Ini aneh, monologku singkat dalam hati.

Saat kedua tungkai ini melangkah ke depan, bayanganku yang terkena sorot lampu merah tersebut menghilang. Aku menoleh, sorot lampu merah tersebut pun secara ajaib menghilang bak ditelan bumi. Detik dalam rekaman suara mulai bergerak mundur, vokal yang tidak asing terdengar begitu ketakutan hingga terisak di sela-sela ucapannya.

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang