7 | Ekspedisi Tak Bernyawa

65 43 46
                                    

Perjalanan mengarungi bunga tidur dengan berat hati harus diakhiri ketika samar-samar kurasakan adanya getaran halus akibat desiran roda pada rel kereta api yang mulai melambat secara perlahan. Sepasang mata yang tadinya terpejam, sayup-menyayup mulai terbuka ketika menyadari kereta api yang kutumpangi dari Stasiun Gambir–Stasiun Kota Baru Malang, tengah berhenti. Dalam kesadaran yang belum kembali seutuhnya, aku melayangkan pandangan ke arah sekitar sambil melakukan peregangan kecil. Namun, tidak ada penumpang lain selain diriku sendiri di gerbong kereta api ini. Bahkan kembaranku yang lahir 2 menit lebih awal, wujudnya tidak lagi terlihat di kursi penumpang di depanku. Aku melirik sekilas ke arah layar ponsel baruku yang menyala begitu saja ketika diketuk dua kali. Nyatanya, jam baru saja menunjukkan pukul 23.23.

"Ke mana perginya orang-orang?" tanyaku lirih lalu beranjak dari kursi penumpang untuk menengok ke arah gerbong lain. Namun, baik di gerbong depan atau belakang, keduanya terlihat sepi. "Nggak mungkin hanya aku saja yang tersisa untuk melakukan perjalanan dengan kereta api menuju Kota Malang, kan?"

Aku memposisikan diri untuk kembali duduk di kursi penumpang sambil menunggu kereta api ini kembali melanjutkan perjalanannya. Namun, selang waktu beberapa menit ke depan, tidak ada pergerakan. Padahal di luar sana, peron stasiun kereta api terlihat sepi dan sunyi. Tidak ada satu pun penumpang yang terlihat sama sekali. Rasa penasaran membuatku tergerak untuk mengintip ke luar.

Jika diperhatikan dengan saksama, pemberhentian ini terasa begitu asing. Walaupun aku tidak terlalu sering melakukan beberapa perjalanan menggunakan transportasi kereta api, tapi aku bisa ingat dengan jelas tidak pernah melihat stasiun dengan bangunan megah nan usang di hadapanku. Dinding bercat putih yang mendominasi tampak terkelopak dan kusam seolah-olah tengah menjadi saksi bisu dari jejak-jejak waktu yang berlalu. Pijar lampu penerangan berwarna kuning di sepanjang peron mulai meredup dan berakhir dengan kehilangan cahayanya.

"Aku rasa nggak ada penumpang yang akan naik. Lantas apa yang membuat kereta api ini berhenti cukup lama?"

Dahiku lantas mengernyit ketika melihat 4 angka di layar ponselku masih setia di angka kembar, yaitu 23.23.

Aku berdecak kesal lalu menggerutu kecil. "Padahal ponsel ini kubeli beberapa waktu lalu dengan kondisi masih baru, tapi mengapa sudah menunjukkan adanya gangguan?"

Kualihkan atensiku untuk melihat arloji digital berwarna silver milik mendiang ayah kandungku yang melingkar manis di lengan kiri. Anehnya, waktu yang ditunjukkan sama seperti waktu di ponselku. Pukul 23.23.

Aku bergeming, Mustahil waktu sedang berhenti, kan?

Ketika pikiran berkelana tanpa arah, penerangan di dalam gerbong secara serempak menunjukkan keanehan dengan menyala dan mati bergantian tanpa pola yang jelas. Awalnya, aku berpikir mungkin saja mengalami korsleting. Namun, penerangan yang menerangi peron stasiun di luar sana, turut bergerak fluktuaktif. Saat itu, bisa kurasakan kecemasan mulai menyeruak masuk ke dalam keheningan malam ini.

Krieet

Darah yang mengalir di dalam tubuhku lantas berdesir kencang ketika mendengar derit pintu gerbong kereta api terbuka secara otomatis. Silir-semilir hawa dingin menyelinap masuk, memberikan sensasi dingin yang tajam menusuk kulit hingga membuat bulu kudukku meremang seketika. Tidak berhenti di situ, kengerian makin erat merengkuh tubuh ini ketika samar-samar kudengar dentingan langkah kaki yang menggema di dalam kesunyian malam mulai mendekat ke arahku. Bak tersihir oleh mantra, aku hanya bisa diam mematung ketika ekor mataku menangkap adanya pergerakan sosok wanita di luar sana yang berjalan di bawah redupnya penerangan peron menuju gerbong di mana aku berada.

Waktu berlalu begitu lambat ketika sosok wanita tersebut mulai melenggangkan kedua tungkainya masuk melewati ambang pintu gerbong. Aku terpesona pada sosoknya yang terlihat begitu anggun dan menawan mengenakan pakaian ala tradisional. Rambut hitam legam yang lurus tergerai panjang hingga menyentuh deck kereta, konde emas yang menghiasi kepalanya itu seperti mahkota. Jika diperhatikan dengan saksama dari ujung kepala hingga ujung kaki, penampilan sosok wanita itu bukanlah orang sembarangan alias memiliki status sosial tinggi. Setelan yang dikenakan adalah kebaya encim warna hitam dan jarik berwarna coklat tua yang membentuk rok panjang hingga menyentuh dasar, perpaduan kombinasi warna tersebut menciptakan paduan estetis dan harmonis. Selendang panjang berwarna hitam yang diselempangkan di atas bahu menjadi aksesoris tambahan penting yang memberikan kesan mewah dan berkelas. Raut wajahnya bak karya seni yang menyatu dengan alam, terlihat tenang dan bijaksana. Ranum bibirnya seperti dipoles oleh lip balm berwarna merah muda, pipinya pun juga merona begitu alami. Tanpa beralaskan kaki, sosok wanita itu masih terlihat mempesona. Melihatnya, membuatku tidak bisa berhenti mengagumi sosok wanita tersebut. Bagaimana bisa ada wanita secantik ini di zaman sekarang yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional begitu kental?

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora