16 | Tinggal dan Menetap

37 31 0
                                    

"Mas, saya turun sini saja."

Fokus pemuda yang merupakan driver ojek online lantas beralih dari yang tadinya fokus ke jalanan, kini mengamati peta jalan yang terpampang jelas di layar ponselnya. "Yakin mau turun sini, Mas? Ini kalau dilihat dari Google Maps tinggal beberapa meter lagi sampainya."

"Iya, Mas. Nggak apa. Saya turun sini saja," jawabku, berusaha meyakinkan pemuda yang mulai melambatkan laju motor automatiknya. Keraguan driver yang terekam jelas pada spion cermin datar motor, membuatku spontan beralasan. "Saya lagi pengin jalan-jalan pagi aja biar sehat, udah lama nggak olahraga. Jadinya badan kayak pegel-pegel linu gitu, Mas. Jadi turunin saya di seberang, ya!"

Sebagai driver, sudah menjadi sebuah kewajiban untuk menuruti kemauan penumpang. Tanpa bertanya lebih lanjut, motor yang dikendarai pemuda tersebut berhenti sesuai dengan instruksiku lalu berlalu begitu saja setelah aku melompat turun dari jok belakang dan mengucapkan terima kasih.

Layaknya hari-hari biasa, perumahan elit Kaanan Mandar terasa begitu tenang. Bukan tenang lagi, kesunyian sepertinya jauh lebih tepat untuk menggambarkan atmosfer sekitar. Tidak ada aktivitas manusia ataupun lalu-lalang kendaraan roda dua dan roda empat. Hanya terdengar sepoi-sepoi angin lembut yang membuat anak dedaunan pada pohon bergerak kecil ke sana kemari, kicauan para kukila yang bergerak seirama meninggalkan timur, dan sinar mentari yang baru saja beranjak dari singgasana beberapa menit lalu.

Kehangatan yang harusnya menyelimuti tubuhku, sama sekali tidak bisa kurasakan ketika atensi ini jatuh pada bangunan indekos yang terlihat berbeda dari apa yang aku lihat pertama kali ketika kembali dari Jakarta beberapa waktu lalu. Bangunan megah di hadapanku tidak lagi terbengkalai, terlihat terawat dengan baik seolah-olah baru saja mendapatkan renovasi penuh. Cat-cat dinding yang terkelupas dan memudar, tampak bersinar ketika sinar mentari menyapanya. Pagar besi kusam nan karatan sudah bersembunyi di balik kilau polesan warna hitam dan warna emas yang bersinar. Tumbuhan layu dan pepohonan yang meranggas beberapa waktu lalu, mulai menghijau dengan corak warna-warni yang segar dan berseri. Tanaman rambat pun juga tidak terlihat karena sudah dibabat habis tak bersisa. Semua terlihat baru, tapi terasa asing bagiku.

Di kejauhan, bisa kulihat sosok Gael yang mematung. Berdiri tidak jauh dari salah satu jendela yang dibiarkan terbuka dengan kepala tertunduk. Hal itu refleks membuat kedua tungkaiku bergerak untuk menyebrang dan menghampirinya. Makin dekat jarak yang terkikis, aku bisa mengetahui bahwasanya Gael tidak melakukan apa-apa. Hanya melamun dengan tatapan kosong, menatap lurus ke arah batu yang berukuran cukup besar di antara hijaunya rerumputan.

"Apa yang sedang Gael pikirkan di depan jendela kamarku?" tanyaku lirih.

Keheranan yang kurasakan, tanpa sengaja membuat ingatanku merasa tidak asing dengan pemandangan ini. Ada Gael, jendela, dan batu.

"Apa aku melewatkan sesuatu?" tanyaku, lagi-lagi tidak ada jawaban.

Getar ponsel yang berada dalam genggamanku, berhasil menyadarkan diri ini dari lamunan singkat. Langsung saja kutekan angka-angka yang tertera jelas di layar ponsel untuk membuka kunci sandi. Begitu terbuka, rasa penasaran yang bersemayam dalam benakku untuk mengetahui isi pesan masuk dari Hakim, malah dibuat tertegun dengan sebuah gambar dari media berita daring yang aku abadikan beberapa waktu lalu saat menginap di tempat Hakim. Layar ponsel yang kelewat gelap, membuat ibu jari kananku spontan menaikkan tingkat pencerahan agar informasi bisa terbaca dengan jelas.

Headline pada media berita tersebut lantas membuatku merinding. Pasalnya, ada sebuah potret gambar vertikal yang sama persis dengan apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Ada jendela, batu dengan noda merah yang sudah mengering, tapi tidak ada Gael di dalam potret tersebut. Aku pun memberanikan diri untuk membaca isi berita sekali lagi.

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now