1 | Realitas Ganjil

164 59 35
                                    

"Marvel!"

Hal pertama yang menyambutku ketika mata ini tak lagi terpejam adalah vokal lantang nan familier dari seorang wanita paruh baya yang tengah tertegun hingga kursi besi ramping yang didudukinya beberapa waktu lalu,sudah terjatuh membentur lantai cukup keras. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku menyaksikan sorot mata wanita paruh baya-yang sudah mengandungku selama 9 bulan lalu merawatku hingga 2 dasawarsa berlalu tanpa pamrih-itu, terlihat nanar. Beberapa sekon ke depan, sorot matanya melemah dan genangan air mulai memenuhi pelupuk matanya. Dalam sekejap, bulir air mata berlomba-lomba membasahi pipi, disusul dengan suara isak tangis yang mampu membelah kesunyian. Ada apa dengan bunda?

Ingin hati menanyakan apa yang terjadi, tapi kedua tungkai bunda sudah terlanjur lebih dulu meninggalkanku dengan langkah terburu-buru. Menyadari bahwasanya hanya seorang diri, atensiku lantas membabi buta menelisik setiap inci di balik ruang remang-remang yang aku singgahi begitu detail. Dengan napas termengah-mengah dan jantung yang senantiasa masih berdebur kencang, aku melompat keluar dari balik selimut putih tulang yang membungkus tubuhku agar tetap hangat beberapa waktu lalu. Tubuhku sempat terhuyung dan nyaris terjerembap jika saja tidak bisa menyeimbangkan kedua tungkaiku agar berdiri kokoh. Tanpa basa-basi, aku menghampiri setiap cela di antara benda-benda tinggi yang menjulang tinggi untuk mengecek barangkali ada wooden man yang tengah bersembunyi dan siap siaga menyeretku kembali ke dalam formasi lingkaran yang memuakkan dan menari bebas di udara mengikuti lantunan melodi sendu yang memilukan hati. Saking parnonya, aku pun berinisiatif mengintip di balik celah-celah himpitan benda-benda kecil di sekitar. Namun, nyatanya, kekhawatiranku adalah wujud dari rasa takut yang berlebihan.

Perlahan-lahan aku mengatur sirkulasi pernapasan agar kembali normal. Begitu juga dengan meredam segala pikiran negatif yang menari-menari riang di kepalaku dengan mata terpejam dan memikirkan hal-hal yang membuatku bahagia. Namun, saat proses relaksasi dilakukan, dahiku mengernyit saat merasakan silia di dalam rongga hidungku bergetar karena samar-samar aroma menyengat yang berbeda, menusuk indra penciumanku secara kompak. Aku berdecak kesal ketika mengenali salah satu aroma familier yang jelas-jelas meninggalkan noktah hitam di lembaran masa kecilku yang menyenangkan. Di mana lagi kalau bukan rumah sakit?

Aroma seperti serbuk bedak dan antiseptik yang menyatu, berkolaborasi menciptakan keharuman yang bersih, menyisakan kesan dingin dan suasana steril yang kental di setiap hembusan atau tarikan napas. Aroma yang mampu menggiringku kembali ke masa-masa kritis di masa lalu, menerima fakta pahit di usia belia atas ayah kandungku yang harus meregang nyawa karena penyakit jantung koroner. Seulas senyum simpul yang membingkai bibir ayah kala itu adalah sebuah pertanda bahwasanya beliau tengah bertemu dengan titik nadir kehidupannya, tapi dengan bodohnya aku percaya semua akan baik-baik saja dan malah berakhir dengan menempatkan diri menjadi pihak yang mudah dikelabui. Aku tertipu senyum palsu ayah yang penuh dengan muslihat. Sialnya, momen-momen terakhir itu terekam begitu jelas di dalam memori kepalaku.

Sayup-sayup terdengar suara derap langkah kaki manusia di koridor rumah sakit yang makin dekat menuju kamar inapku. Secercah mata kemudian, bisa kulihat sorot mata bunda, dokter, dan juga perawat yang berdiri di ambang pintu, terlihat begitu panik ketika menemukan ranjang rumah sakit di hadapan mereka kosong. Jemari tangan kananku lantas bergerak untuk menekan sakelar di dinding. Dalam hitungan sekon ke depan, ruang gelap menjelma menjadi terang benderang.

"Yo, saya di sini," ucapku santai sambil melambaikan tangan kananku.

Bukannya menyahutiku, mereka malah memberikan respons yang sama seperti bunda beberapa waktu lalu. Sama-sama tertegun. Namun, beberapa saat kemudian dokter meminta perawat untuk menghampiriku dan menuntun kembali berbaring di atas ranjang rumah sakit yang dingin.

"Aduh!"

Rengekan kecil tersebut lolos begitu saja dari mulutku ketika menyadari sesuatu yang menyengat dan dingin tengah menyentuh kulit punggung tanganku sebelah kiri. Saat berpaling ke pusat rasa sakit tersebut, bisa kulihat perawat tengah berusaha menghentikan pendarahan di sana. Rupanya, aroma asing lainnya yang sempat mengusikku beberapa waktu lalu adalah aroma darahku sendiri yang menetes di lantai dan merembes membasahi seprai ranjang rumah sakit yang berwarna putih tulang itu hingga merona.

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now