20 | Tabir Ilusi Rojiv

26 29 0
                                    

Sepeninggalnya Gael dan Gustav, aku merasa hampa. Terutama pada Gustav, aku masih merasa berutang budi padanya. Padahal aku sudah berjanji ingin memberitahu kebenaran di balik kematiannya, tapi apa daya, Gustav lebih dulu meninggalkanku dan teman-teman seperti Gael dalam waktu singkat. Pergi begitu saja, tanpa mengatakan sepenggal kalimat apa pun sebagai salam perpisahan.

Dalam posisi duduk bersila di atas lantai, aku memandangi dinding polos yang ada di hadapanku secara bergantian, Ke mana hilangnya pintu kamar kalian berdua, El, Gus?

Derit suara yang berasal dari pintu Rojiv yang terbuka sama sekali tidak berhasil menyadarkan lamunanku. Rojiv yang menyaksikan dukaku dari ambang pintu, hanya bisa geleng-geleng kepala sambil melangkah ke arahku dengan palet warna dan ember berisi cat yang ada di masing-masing tangannya.

"Vel," panggil Rojiv, tapi aku sama sekali tidak menggubrisnya dan malah asyik berdebat dengan batinku sendiri. Merasa kesal karena dihiraukan, Rojiv menjatuhkan benda berharga yang ada di tangannya tepat di hadapanku. Alhasil, aksinya untuk menyadarkan lamunanku berhasil. "Dipanggil malah bengong! Gak takut sore-sore melamun gini malah kesampukan dedemit?"

Terlintas sebuah ide dalam benakku untuk menjawab pertanyaan tersebut. "Hidupku di Malang udah dikelilingi sama para dedemit, jadi kenapa harus takut?"

Rojiv refleks menoyor kepalaku pelan dengan kuas. "Kurang ajar!"

Kami berdua pun akhirnya tertawa bersama untuk beberapa saat. Melihat adanya peralatan lukis yang dipakai Rojiv sehari-hari dibawa berbondong-bondong keluar dari kamar, membuatku penasaran isi dari kepala pemuda seniman satu ini yang lupa membawa kanvas sebagai media lukis. "Kanvas gak ada, mau lukis di mana?"

"Tuh!" Tunjuk Rojiv dengan santainya ke arah dinding—yang pernah ada dua pintu besar di sana—sambil mengaduk-aduk cat yang baru saja dituangkannya ke atas palet warna. "Daripada kosong dan bikin yang lain kepikiran sampai sedih, mending aku lukis aja. Bagus gak ideku, Vel?"

Aku manggut-manggut, pertanda setuju. "Siapa, sih, yang akan menolak dinding rumahnya dijadiin kanvas oleh seniman muda yang handal?"

"Ada," jawab Rojiv. "Ayahku."

Tutur kata Rojiv jelas membuatku tidak percaya. "Gak mungkin."

"Kelihatannya gak mungkin, kan?" sahut Rojiv. Tangannya yang memegang kuas mulai bergerak bebas menorehkan cat pada dinding. "Asal kamu tau saja, Vel, terlahir dari keluarga yang berbakat dalam melukis bukanlah anugerah terindah bagiku. Sebagai anak semata wayang yang harusnya bisa meneruskan talenta berharga tersebut, aku malah menghasilkan karya lukis yang biasa saja dan terkesan monoton. Untuk bertahan dikancah yang bisa diakui dalam dunia seni, bakat pas-pasanku gak akan pernah bisa bersaing dengan lainnya. Itu kenapa dari sekian banyaknya dinding rumah yang pernah aku lukis, hanya rumahku saja yang gak ada lukisanku karena keluargaku gak mengakuinya. Jadi aku memilih kabur ke Malang."

Melihat raut wajah Rojiv yang serius membuatku enggan untuk bertanya lebih lanjut. Aku selalu menghindari topik perbincangan dengan ranah keluarga karena merasa tidak nyaman akan hal tersebut. Aku memperhatikan Rojiv yang melukis bebas di dinding dengan senyum merekah di bibirnya. Entah mengapa setiap goresan cat dari tangan Rojiv, seolah-olah memiliki cerita sendiri yang bisa menyentuh perasaan pengamatnya.

Aku pun bertanya dalam hati, Bagaimana bisa bakat Rojiv dianggap sepele oleh keluarganya sendiri?

"Oh, ya, Vel." Tiba-tiba saja Rojiv memanggil namaku lalu memberikan selembar kartu warna merah yang mulai memudar. "Ini adalah kartu yang aku dapatkan setelah melempar dadu di atas papan permainan Hantupoli."

Buru-buru saja aku membalik kartu tersebut untuk mengetahui isi tulisan yang ada di baliknya. Membaca dua kata yang tercetak tebal pada kartu milik Rojiv membuat alisku bertaut. "Maestro palsu?"

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now