12 | Dejavu

43 33 0
                                    

Panorama bersahabat telah tiba. Terik mentari yang membuat orang-orang enggan untuk seliweran ke sana kemari di bawah cerahnya biru samudra, kini mulai tergantikan dengan pesona warna-warni mambang kuning yang membentang indah menghiasi dirgantara secara perlahan. Silir-semilir pawana mencumbu setiap inci raut wajahku begitu lembut, beberapa helai anak rambutku pun turut bergoyang ke sana kemari di udara karenanya. Hiruk pikuk pengunjung yang silih berganti datang berkunjung ke kafe minimalis dengan sentuhan alam hijau, lamat-lamat membuat indra penciumanku makin kental dimanjakan dengan aroma kopi yang berasal dari mesin otomatis barista yang tidak ada henti-hentinya membuat pesanan pelanggan sejak senja mampir. Senandung musik indie dari pengeras suara kafe, refleks membuat kedua tungkaiku berdansa kecil di lantai mengikuti irama lembut. Begitu juga dengan jemari tanganku yang makin lincah menekan tuts-tuts abjad dan angka di keyboard laptop.

"Pesanannya, Kak Marvel."

Perpaduan kopi hitam pekat dan putih susu terlihat bersenyawa begitu harmonis di dalam gelas kaca. Satu tenggak kopi tubruk susu yang membasahi kerongkongan, mampu membuat kantuk mata berat meninggalkanku begitu saja dalam sekejap. Sepasang donat dengan taburan gula halus yang disajikan di atas piring, refleks membuat perutku menyuarakan gemuruh lembut. Satu gigitan dari grizzled donut ternyata bisa mengembalikan semangatku yang meluruh akibat kencan buta selama 6 jam dengan revisi laporan skripsi yang tak kunjung berakhir hingga membuat kepalaku seperti berasap-asap. Kelewat lapar dan haus pun membuatku tidak menyadari adanya sosok pelayan kafe yang berdiri di hadapanku dengan nampan berada dalam dekapannya.

"Saben ari skripsian terus opo sek waras toh¹⁷, Kak?"

Tanpa berpaling, aku bisa mengenal siapa pemuda yang berdiri di hadapanku lewat vokal. Aku pun menghela napas panjang lalu bertanya, "Ja ... kamu nggak lagi alih profesi buat jadi stalker, kan? Setiap aku ke mana-mana, kenapa kita selalu papasan?"

Suteja berdecak kesal. "Kalau stalker bisa menghasilkan uang lebih banyak dari kerja sampinganku yang membeludak, kayaknya aku udah ambil profesi itu untuk bertahan hidup!"

Jawaban Suteja membuatku teringat akan sebuah fakta bahwa laki-laki satu ini adalah tulang punggung keluarga, ia rela memeras keringat demi keluarganya yang terlahir dari ekonomi serba dicukup-cukupkan. Bahkan Suteja acapkali menawarkan jasanya untuk bekerja di rumahku yang ada di Jakarta saat liburan semester tiba, tapi pria tua bangka yang menjadi bagian dari keluargaku tersebut tentu saja tidak meloloskannya.

"Haram, Ja," jawabku sambil geleng-geleng.

"Kalau kepepet yang haram juga bisa jadi halal!" sahut Suteja sambil cengengesan lalu menyebut nama Tuhan setelahnya. "Ya Tuhan, barusan cuman bercanda tolong jangan kutuk aku jadi batu!"

"Makin hari makin random aja kelakuanmu, Ja! Lagian juga yang posisinya mumet di sini karena skripsi itu aku, kenapa jadi situ yang gendeng?"

Suteja tergelak. "Memangnya yang boleh gila cuman yang lagi skripsian doang?"

Aku pun menyodorkan grizzled donut pada Suteja yang langsung saja lenyap dalam sekali lahap dan membuatnya terbatuk-batuk karena tersedak. Buru-buru saja kopi tubruk susu yang baru saja aku sesap sekali, langsung habis tak tersisa ditenggak oleh Suteja tanpa dosa. Perihal kesal, tentu saja jelas. Namun, aku tidak sanggup marah pada laki-laki yang nyaris menghabiskan waktunya hampir seharian selama bertahun-tahun lamanya untuk menghasilkan uang dari kerja paruh waktu yang tidak seberapa untuk menghidupi keluarganya yang terdiri dari ibu dan dua adik kandung yang masih duduk di bangku sekolah.

"Btw, Kak. Kemarin pas aku telepon lagi ngapain, sih? Kok, kayaknya berisik banget?"

Dahiku mengernyit. "Pas kapan?"

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now