11 | Elusif

57 34 18
                                    

Dering ponsel yang menggetarkan meja belajar, diam-diam berhasil mencuri konsentrasiku untuk berpaling sejenak dari rentetan kata-kata yang tersusun rapi membentuk narasi ilmiah pada laman Microsoft Office. Rupanya, ada panggilan masuk dari adik tingkat yang berhasil menyeretku ke dalam siasat licik untuk mengikuti kegiatan UKM Palet Warna beberapa hari lalu, agar memperoleh sangon bertahan hidup bagi anak rantau. Siapa lagi kalau bukan Suteja?

"Wassup!" sapa Suteja di seberang sana begitu antusias.

Aku menghela napas panjang. "Langsung to the point aja, Ja. Aku lagi sibuk revisi skripsi."

"Prei sek¹⁶," ejek Suteja diselingi dengan tawanya yang menggelegar. "Perasaan sekarang lagi weekend, sek iyo ae skripsian! Jomblo, Bos?"

"Biar cepet lulus, Ja. Aku udah ketinggalan jauh gara-gara ambil cuti dua semester karena kecelakaan," sahutku yang diapresiasi Suteja dengan sebuah siulan. Menyadari bahwa pembicaraan mulai menyentuh ranah lain, aku pun menuntun Suteja untuk kembali ke topik. "Tumben banget telepon aku, Ja. Ada apa?"

"Mau bahas perihal lukisanmu, Kak," jawab Suteja yang ternyata sesuai dengan pradugaku. "Lukisanmu kemarin dilelang dan ada peminat karya seni yang memberikan tawaran uang sebesar 23 juta."

"Oh, terus?"

Mendengar responsku yang sekenanya, membuat Suteja berdecak kesal di telepon. "Kak Marvel setuju nggak kalau semisal lukisan kakak dijual dengan harga segitu? Kalau semisal nggak, lukisannya bakalan aku kirim ke alamat indekosmu."

Kalimat terakhir yang terucap dari mulut Suteja, seolah-olah mengingatkanku pada sebuah program radio beken pada masanya yang disiarkan oleh Radio Andalus FM, yaitu Kisah Seram Malam Jum'at atau dikenal akrab oleh pendengarnya dengan sebutan KERAMAT. Salah satu siaran radio Indonesia yang membuatku skeptis dan acapkali tertawa remeh karena cerita-cerita mistis yang tidak logis ketika didengarkan. Sayangnya, karmaku tiba begitu cepat. Tanpa aba-aba atau persiapan, aku diizinkan untuk melihat keberadaan entitas lain begitu saja dengan sepasang mataku tanpa perantara. Walaupun aku memiliki penglihatan tersebut hanya sekejap, tapi sensasi akan bulu kudukku yang gemar meremang karena kehadiran ragam makhluk tak kasatmata, sama sekali tidak bisa aku singkirkan dari memori kepalaku. Termasuk pertemuanku dengan Marvella, begitu singkat dan berlalu cepat.

"Halo halo, tes? Kak Marvel ora turu, kan?"

"Enggak," jawabku buru-buru. "Sorry, Ja, tadi aku sempat melamun sebentar buat mikir. Perihal lukisan yang aku buat, apa harganya nggak terlalu berlebihan? Aku cuman desainer biasa, bukan seorang maestro. Kamu tau itu, kan, Ja?"

"Kalau dibilang berlebihan juga sebenarnya nggak juga, Kak. Lukisanmu memang bagus, bahkan sampai diakui oleh peminat karya seni dan karyamu mau dibeli. Berarti memang layak, kan, karyamu diberi harga segitu?"

Aku berdeham. "Masa, sih, Ja? Itu pujian pure tulus, kan? Bukan sarkas?"

Suteja berdecak kesal. "Sarkas gundulmu! Malahan yang ada sekarang harusnya aku tanya sama kamu, Kak. Sebenarnya kamu bilang gak bisa lukis waktu itu cuman sekedar alibi buat menolak secara harus biar nggak join UKM Palet Warna, kan?!"

"Demi Tuhan, aku beneran nggak terlalu bisa sama yang berbau gambar-gambar manual gitu. Ilustrasi bisa cuman basic aja, bukan yang aneh-aneh. Kamu, kan, juga tau sendiri kalau minatku lebih ke arah fotografi ketimbang jadi ilustrator."

"Iya, juga, ya?" Kini giliran Suteja yang merasa bingung. "Tapi kenapa lukisan manual dari tangan amatir bisa sebagus itu? Kamu bukannya lagi kesurupan dedemit atau apa, kan, Kak?"

Buru-buru saja aku menyela ucapannya. "Kalau ngoceh filter dulu, Ja! Suka banget sembarangan kalau ngomong!"

"Ya, habisnya pro banget. Kali aja gitu cari wangsit ke dukun mana, bisa bagi tau barangkali someday aku butuh."

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now