Epilogue | Delapan

37 28 4
                                    

Walau senja sudah menjelang dan memamerkan semburat jingga yang memesona pada dirgantara, tapi antusias dan semangat delapan pemuda dengen setelan toga untuk berfoto di depan gedung rektorat universitas, sama sekali tidak luntur. Meski keringat tengah mengucur deras dan gemuruh perut keroncongan yang senantiasa berdendang, tidak ada satu pun dari mereka yang ingin menyudahi kegiatan untuk mengabadikan momen berharga bersama. Akhirnya, hari ini tiba. Perjalanan mereka dalam mengejar gelar sarjana resmi berakhir.

"El, buruan!" teriak Gustav.

Gael yang sibuk mengotak-atik kamera mirrorless milik Jehan pada tripod kaki tiga, lantas berdecak kesal di sela napasnya yang sudah ngos-ngosan karena harus berlari ke sana kemari untuk menekan tombol timer pada kamera.

"Sabar dikit bisa, gak? Enak banget dari tadi suruh-suruh tumbal tombol timer buat buru-buru mulu! Capek, njir! Giliran buat pencet tombol timer mana mau, kan, kalian semua?!" ketus Gael.

"Salah siapa mau jadi paling bontot di antara kita berdelapan?" celetuk Mahendra lalu terkekeh setelahnya.

Gael menghela napas panjang lalu berbisik lirih pada semilir angin sore. "Perasaan kayaknya bukan aku yang paling bontot."

Sekon berlalu, kamera berdenting begitu tombol timer dipencet oleh Gael, menciptakan pendar berwarna merah yang berkedip-kedip sebanyak sepuluh kali sebelum gambar diabadikan.

"Tiga, dua, satu! Pose!" teriak Gael, memberikan instruksi kepada teman-teman lainnya agar hasil foto kompak dan tidak ada fail.

Namun, mengingat foto momen bahagia ini diabadikan tanpa adanya campur tangan seorang fotografer handal, maka hasil fotonya pun terkesan seadanya dan sedikit awut-awutan. Ada yang tertegun karena tidak biasa dengan adanya kilat cahaya dan berakhir dengan sepasang mata sayu layaknya orang mengantuk atau terpejam seperti orang yang tertidur di tengah keramaian. Sisanya adalah orang-orang eksis yang terbiasa dengan kamera, sehingga menghasilkan foto sesuai kemauan pribadi. Ragam pose yang tercipta seperti ini malah menciptakan komposisi menarik dan dramatis seolah-olah merekam banyak cerita dalam satu waktu.

Senda gurau bersahut-sahutan ketika menggulir hasil foto pada kamera milik Jehan. Penistaan pribadi satu sama lain terjadi begitu saja saat menemukan adanya party pooper dalam foto kompak. Di sela-sela hiruk pikuk hangatnya momen berharga ini, secara serempak mereka tiba-tiba terdiam menyaksikan hasil foto-foto tersebut yang terasa janggal. Di semua momen yang terabadikan, selalu saja ada spot kosong yang tersisa di antara mereka seolah-olah hal itu sengaja dilakukan untuk memberikan tempat bagi seseorang. Namun, siapa orang itu?

Makin lama ruang kosong tersebut dipandangi, makin terasa menakutkan hingga membayangkannya saja membuat bulu kuduk mereka masing-masing meremang. Mengingat bahwa pertemanan mereka sejak awal terjalin adalah delapan pemuda, bukannya sembilan. Harusnya, mereka bisa menganggap hal ini sebagai angin lalu, alias tidak perlu ambil pusing akan hal ini. Logika bisa berkata seperti itu, tapi tidak dengan hati mereka yang merasa terasa tidak tenang melihat ruang kosong tak bertuan tersebut.

"Kembali ke posisi, kita akan mengambil gambar sekali lagi yang formal sebelum sesi foto berakhir dan kembali ke indekos!" perintah Jehan, Tanpa basa-basi, mereka menuruti ucapan dari pemuda tertua di antara kami.

Tidak mau berlarut-larut dalam misteri, mereka mengabadikan foto bersama dengan formasi seperti sebelum-sebelumnya, yaitu formasi sembilan orang untuk delapan pemuda dalam bingkai abadi.

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now