18 | Tabir Ilusi Gael

24 30 0
                                    

"Hompimpa alaium gambreng²¹!"

Begitu suku kata terakhir terucap, gerakan tangan yang berayun-ayun kecil di udara berhenti secara serempak. Setiap orang yang berpartisipasi dalam pembuka permainan tradisional ini, secara berbarengan memperlihatkan salah satu sisi dalam telapak tangan yang menengadah atau menelungkup. Dari Sembilan orang yang berpartisipasi, delapan orang memperlihatkan sisi telapak tangan yang terbuka ke atas, sedangkan satu orang tersisa memperlihatkan bagian sebaiknya.

"Marvel jadi orang pertama yang tersingkir!" ujar Mahendra begitu antusias padanya, lainnya pun ikut tertawa menyorakiku karena tidak kompak dan menjadi orang pertama yang tersingkir dari permainan anak kecil ini. Mahendra menyalami tanganku. "Selamat sudah menjadi orang yang paling gak beruntung karena harus menjadi orang terakhir yang akan melempar dadu!"

Aku hanya bisa tertegun ketika mendapat ucapan selamat dari Mahendra. Dahi yang mengedut adalah sebuah pertanda bahwa aku kebingungan dengan apa yang terjadi saat ini. Namun, begitu atensiku bergerak menyisiri sekitar, aku pun bisa memahami dengan jelas bagaimana atmosfer yang mengitariku terasa begitu familier. Aku bersama dengan delapan temanku berada di ruang santai, duduk melingkar mengitari meja dengan perasaan menggebu-gebu, dan berpartisipasi dalam permainan Hompimpa untuk menentukan siapa yang terlebih dahulu memperoleh giliran untuk melempar dadu berbentuk unik—piramida segitiga dengan angka-angka dalam aksara jawa—di atas papan permainan kayu yang baru saja kami dapatkan secara cuma-cuma dari gadis remaja yang menjadi salah satu korban selamat dalam musibah bencana alam tanah longsor di lereng Gunung Bromo.

"Hompimpa alaium gambreng!"

Saat semua orang berusaha mati-matian untuk kompak dan bertahan hingga mendapatkan giliran awal yang nantinya bisa menggerakkan pion pilihan dengan warna berbeda-beda di atas papan permainan kayu tersebut, fokusku malah terhenti pada empat angka yang dicetak tebal berwarna hitam pada kalender dinding.

Atensiku menyipit, Minggu terakhir bulan Juli? Tahun 2023? Bukannya sekarang sudah memasuki akhir bulan September di tahun 2024? Dari sini aku menyadari bahwasanya diri ini tengah melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, Apakah permintaanku udah berjalan saat ini? Kematian siapa yang lebih dulu aku ketahui kebenarannya?

"Yes!"

Aku melihat tampang misterius Gael langsung lenyap ketika ia berhasil melumpuhkan lawan di hadapannya, Gustav—yang dikalahkan oleh musuh bebuyutannya dan otomatis mendapatkan urutan kedua, tergantikan dengan ekspresi wajahnya yang penuh kemenangan. Saking senangnya, Gael melakukan tarian kecil yang pernah viral di tengah-tengah pandemi Covid-19 dulu pada platform TikTok. Merasa kesal karena terkalahkan, Gustav memukul pantat Gael cukup keras hingga sang empunya berjingkat-jingkat menahan sakit.

"Lempar dadunya njir! Malah pargoy! Gimana, sih?"

Bukan Gael namanya jika ia tidak melawan. Alhasil, sebuah jitakan mendarat di puncak kepala Gustav. Gustav yang mendapat aksi balas dendam tersebut hanya bisa mengusap bekas penganiayaan tersebut. Merasa puas, Gael mendaratkan pantatnya yang masih nyut-nyutan ke lantai lalu bersila di depan papan permainan kayu seperti semula. Gael mengambil dadu tunggal berbentuk piramida tersebut untuk dilemparkan. Ketika semua orang merasa tidak sabar untuk melihat hasil dari dadu yang bergulir singkat, tapi tidak dengan aku yang menatap ngeri ke arah benda yang menjadi penentu langkah pada permainan papan kayu, Hantupoli, yang digadang-gadang merupakan permainan misterius dan berbahaya.

"Siji²²," sahut Mahendra, kemudian pemuda itu tergelak-gelak di posisinya. "Angel-angel oleh urutan pertama malah mek geser pion sak kolom²³!"

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Where stories live. Discover now