21 | Tabir Ilusi Tristan

27 29 0
                                    

Seperti hal-hal yang terjadi sebelumnya, ketika aku tersadar, pintu kamar indekos Rojiv menghilang begitu saja bak ditelan bumi. Begitu juga dengan keberadaan Rojiv yang bernasib sama seperti Gael dan Gustav, aku tidak bisa menemukan keberadaan dari arwah gentayangan yang selalu mondar-mandir di indekos, kecuali berita televisi yang menyiarkan penemuan jasad mereka masing-masing yang sudah membusuk di lokasi tertentu. Di sisi lain, aku merasa sedih karena kehilangan tiga temanku, tapi di lain sisi, aku merasa lega ketika tubuh mereka yang dinyatakan menghilang setelah pemakaman berlangsung satu lalu, sudah kembali ke rumah duka masing-masing.

Semenjak Rojiv menghilang, aku makin merasa kesepian. Mengingat bahwa arwah gentayangan penghuni indekos yang tersisa ini sama sekali tidak terlihat di mana-mana. Bahkan ketika aku mengetuk pintu kamar mereka masing-masing yang tersisa, sama sekali tidak ada jawaban. Pikirku hanya satu, sepertinya mereka menghindariku.

Terlalu lama berada di lantai dua, membuat perutku keroncongan. Alhasil, aku meletakkan buket bunga tulip warna putih terakhir yang ada dalam genggamanku di depan pintu kamar Rojiv yang sudah tidak ada lagi di sana. Begitu menuruni anak tangga, samar-samar indra penciumanku bisa menghirup aroma wangi mi instan kuah dengan rasa ayam bawang yang berasal dari dapur. Sesuai dugaan, tidak ada lagi orang lain yang begitu menggilai mi instan rasa ayam bawang jika bukan Tristan orangnya.

"Tristan?" sapaku.

Sayangnya, aksi langkahku yang mengendap-endap sambil bersuara lirih, membuat Tristan tersedak dan berakhir dengan batuk-batuk. Melihatnya yang gelagapan berusaha mencari gelas untuk minum, buru-buru membuatku berinisiatif untuk melakukan hal tersebut. Botol air mineral dingin yang tadinya penuh, langsung ditenggak habis oleh Tristan hingga tak bersisa.

"Ya Tuhan, Vel, lain kali bisa kali munculnya jangan diam-diam gitu? Aku kaget!" ucap Tristan kesal dan terbatuk-batuk lagi setelahnya walau tidak intens seperti sebelumnya. Tiba-tiba saja Tristan tertawa kecil. "Bisa-bisanya barusan berpikiran takut mati karena tersedak, padahal aku udah pernah mati sebelumnya!"

Mendengar kata 'mati' yang harusnya tabu untuk dijadikan lelucon, membuatku menghela napas panjang, Bagaimana bisa Tristan bercanda tentang hal sensitif seperti ini?

"Mau mi, gak?" tawar Tristan random. "Tadi aku bikin dua bungkus, taunya gak abis. Daripada mubazir, mending aku tawarin ke kamu. Mau, Vel?"

"Dengan senang hati!" jawabku lalu menggulung mi dengan garpu dan memasukkanya ke dalam mulut. Aku tersenyum senang, Bagaimana bisa mi instan buatan orang lain terasa jauh lebih enak disantap ketimbang buatan sendiri? Sampai saat ini, hal itu menjadi misteri.

"Vel," panggil Tristan, membuatku mataku melirik ke arahnya. "Mau dinyanyiin lagu, gak?"

Alisku bertaut. "Tumben?"

Tristan tersenyum getir. "Seperti yang kamu tau, waktuku gak banyak karena aku akan menyusul Gael, Gustav, dan Rojiv. Jadi kapan lagi kalau gak sekarang?"

Satu sendok mi instan yang harusnya terasa nikmat, kini tiba-tiba terasa hambar. Dengan berat hati, aku mengiyakan keinginan Tristan untuk memamerkan bakat menyanyinya yang menurutku tidak perlu diragukan lagi. Begitu dawai dipetik, aku langsung hanyut dalam permainan melodi gitar yang dimainkan oleh Tristan. Kepalaku bergerak kecil ke kanan dan kekiri mengikuti irama, mulutku pun ikut bernyanyi bersama dengan Tristan yang menyanyikan lagu dari band favoritnya, yaitu Sheila On 7, yang berjudul Sebuah Kisah Klasik.

"Bersenang-senanglah ..., karena hari ini yang, kan, kita rindukan. Di hari nanti .... "

"Sampai jumpa kawanku ..., semoga kita selalu ..., menjadi sebuah kisah klasik, untuk masa depan .... "

Nyanyian yang terdengar begitu bersenyawa, lambat laun mulai teredam. Lampu yang bergerak fluktuatif di lantai ini membuatku menyadari sepertinya aku akan segera mengetahui kilas balik apa yang terjadi pada Tristan sebelum meregang nyawa. Namun, sebelum mataku tertutup sempurna oleh kegelapan, bisa kulihat sebuah kartu lusuh berbentuk segitigas sama sisi berwarna biru, ditempel di dalam tabung gitar milik Tristan. Ada satu kata yang tercetak tebal terlihat jelas di mataku.

"Curang?"


●●●


Saat mataku terbuka, bisa kudapati sebuah panggung besar membentang luas di hadapanku. Atensiku bergerak ke sana kemari begitu kebingungan. Namun, melihat adanya banner bertuliskan 'Ajang Pencarian Penyanyi Berbakat' tercetak jelas pada background panggung, membuatku mengerti bahwa aku sedang berada di tengah-tengah acara sebuah kompetisi bergengsi tingkat nasional.

"Mari kita sambut peserta berbakat kita selanjutnya, yaitu Tristan!"

Hiruk pikuk tepuk tangan terdengar menggema di dalam ruangan. Sekon ke depan, bisa kulihat seorang pemuda dengan setelan jas rapi dan gitar yang diselempangkan pada bahunya, naik ke atas panggung. Siapa lagi kalau bukan Tristan?

"Selamat malam semua," sapa Tristan, tangannya melambaik ke arah penonton. "Perkenalkan saya Tristan dari Malang. Pertama-tama, izinkan saya untuk mengucapkan terima kasih kepada penoton yang senantiasa memberikan dukungan pada saya, sehingga saya berkesampatan untuk tampil lagi bersama peserta-peserta hebat lainnya untuk memperebutkan juara pertama pada Ajang Pencarian Penyanyi Berbakat. Malam ini, izinkan saya menyanyikan lagu dari Christina Perri, yang berjudul A Thousand Years. Everyone, enjoy this show!"

Melodi yang dihasilkan oleh jemari tangan Tristan yang bergerak lincah memetik gitar, terasa hangat dan menghanyutkan. Para hadirin setia di Ajang Pencarian Penyanyi Berbakat tersebut merasa tersentuh oleh permainan gitar Tristan—yang tidak hanya menampilkan keterampilan teknisnya yang luar biasa, tetapi juga mengungkapkan emosi yang mendalam dan berarti. Suara Tristan yang bersenyawa dengan permainan gitar, menambah khidmat suasana malam ini.

Di tengah-tengah penampilan yang nyaris sempurna tersebut, tiba-tiba atmosfer sekitar yang begitu tenang dan hanyut dalam keindahan melodi yang dibawakan oleh Tristan, berubah menjadi ketakutan dan kengerian. Dalam sekejap mata, hadirin berteriak begitu histeris. Bahkan beberapa dari beberapa orang yang hadir malam ini, tak mampu menahan air mata mereka yang begitu deras jatuh membasahi pipi ketika menyaksikan darah mulai memercik dari goresan panjang di leher Tristan. Saking syoknya, Tristan tidak menyadari bahwasanya senar gitar yang terputus telah menjelma menjadi pisau tajam yang mampu merobek kulitnya hingga membuat luka dalam dan parah.

"Astaga, Tristan!"

Aku yang berada pada barisan penonton langsung bergegas menghampiri Tristan hingga bolak-balik terjatuh karena kelewat panik. Sesampainya di hadapan Tristan, aku mengulurkan kedua tanganku untuk membantu menutup luka tersebut. Upaya yang kami lakukan berdua, ternyata sia-sia. Cairan kental berwarna merah terus saja mengalir, membentuk genangan merah yang membasahi panggung. Rasa sakit yang memburuk dan perasaan kehilangan kontrol atas tubuhnya, membawa Tristan ke ambang kesadarannya. Tristan berusaha untuk berdiri, tapi sayangnya, kedua tungkai yang senantiasa menopang tubuhnya, tidak lagi mampu untuk menahan tekanan. Tubuh Tristan akhirnya ambruk ke panggung. Namun, buru-buru aku mendekap tubuhnya dan menekan luka Tristan dengan satu tanganku. Sialnya, walaupun kesadaran Tristan sudah hilang sepenuhnya, genangan merah yang ada di panggung makin melebar akibat darah yang mengalir deras dari luka leher Tristan yang terlihat menganga.

"Tolong!" teriakku histeris, tapi tidak ada satu pun yang mendengar permintaanku. "Tolong temanku!"

Denyut nadi pada leher Tristan terdengar melambat hingga tidak terasa lagi. Lagi-lagi aku harus menangisi kepergian temanku dengan cara tragis, Mengapa aku harus menanggung beban berat ini, Tuhan?

Di sela-sela isakku yang memilukan, diam-diam aku mendapati siluet hitam yang berdiri di balik panggung, sedang tersenyum menyaksikan kejadian mengerikan ini. Firasat negatif mulai mengakar di hatiku, apa yang barusan terjadi bukanlah sebuah kebetulan semata. Secara perlahan aku membaringkan tubuh Tristan yang sudah tidak bernyawa di atas panggung. Dengan langkah tergesa-gesa, aku menghampiri sosok siluet yang membuatku naik pitam. Jarak yang makin dekat terkikis, membuatku bisa melihat dengan jelas penampilan siluet tersebut mengenakan setelan jas rapi seperti yang dikenakan Tristan.

Pikirku satu, Apakah pelaku dari kejahatan yang menyebabkan Tristan tewas adalah salah satu pesaing dalam kompetisi ini?

Akan tetapi, saat tidak ada lagi jarak yang memisahkan aku dengan siluet tersebut. Atensiku membola sempurna ketika melihat sosok yang aku kenal berdiri di sana dengan seringainya yang membuatku merinding. Mahendra.

Punca Anomali  |  ZEROBASEONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang